Kamis, 21 Desember 2023

CARA ISLAM MENGATASI KORUPSI

Oleh: Achmad Mu'it
Jurnalis 

Pada hari Rabu, 18 September 2019, KPK melalui Wakil Ketuanya Alexander Marwata dalam konferensi pers menetapkan Menpora Imam Nahrawi sebagai tersangka suap terkait alokasi dana hibah KONI sebesar 26,5 milyar. Enam bulan sebelumnya, tepatnya 16 Maret 2019, KPK juga menetapkan Romi, ketua Umum PPP sebagai tersangka jual beli jabatan di Kementerian Agama. Sungguh ironis sekali, di negeri Pancasila banyak terjadi korupsi.

Sebelumnya, tahun 2002 dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsiberdasarkan UU nomor 30 tahun 2002. KPK bersifat independen dan bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR dan BPK. Hadirnya KPK diharapkan dapat memberantas korupsi yang menggurita sebagai semangat reformasi sejak runtuhnya Orde Baru. Namun, apa hendak dikata korupsi bukannya menurun justru malah subur diera demokrasi."Korupsi dan demokrasi seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan karena praktek demokrasi yang mengagungkan popular vote membutuhkan dana yang sangat besar. Salah satu caranya dengan korupsi itu," kata Ustadz HM Ismail Yusanto.

Sejak tahun 2004 hingga tahun 2019 sebanyak 124 kepala daerah terjerat kasus korupsi. (Sumber : Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019). Hal ini sangat wajar karena tingginya biaya kampanye sudah menjadi fakta yang terang benderang. Butuh biaya mahal untuk menjadi kepala Daerah baik Gubernur, Walikota, Bupati, bahkan kepala Desa.

Lalu Bagaimana Cara Islam Mengatasi Korupsi?

Sesungguhnya dalam sistem Islam, salah satu pilar penting dalam mencegah korupsi ialah di tempuh dengan menggunakan sistem pengawasan yang ketat.  Pertama: pengawasan yang dilakukan oleh individu. Kedua: pengawasan dari kelompok, dan Ketiga: pengawasan oleh negara.Dengan sistem pengawasan ekstra ketat seperti ini tentu akan membuat peluang terjadinya korupsi menjadi semakin kecil, karena sangat sedikit ruang untuk melakukan korupsi.

Dalam sistem Islam, korupsi (ikhtilas) adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri atau orang lain.Korupsi merupakan salah satu dari berbagai jenis tindakan ghulul, yakni tindakan mendapatkan harta secara curang atau melanggar syariah, baik yang diambil harta negara maupun masyarakat.Berbeda dengan kasus pencurian yang termasuk dalam bab hudud, korupsi termasuk dalam bab ta’zir yang hukumannya tidak secara langsung ditetapkan oleh nash, tetapi diserahkan kepada khalifah atau qadhi (hakim).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. bersabda, ”Perampas, koruptor (mukhtalis) dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan.” (HR Ahmad, Ashab as-Sunan dan Ibnu Hibban).

Bentuk ta’zir untuk koruptor bisa berupa hukuman tasyhir (pewartaan atas diri koruptor; misalnya diarak keliling kota atau di-blowup lewat media massa), jilid (cambuk), penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati sekalipun; selain tentu saja penyitaan harta hasil korupsi.

Di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, pernah menetapkan sanksi hukuman cambuk dan penahanan dalam waktu lama terhadap koruptor (Ibn Abi Syaibah, MushannafIbn Abi Syaibah, V/528; Mushannaf Abd ar-Razaq, X/209).Sementara di masa Khalifah Umar bin Khathabra. pernah menyita seluruh harta pejabatnya yang dicurigai sebagai hasil korupsi (Lihat: ThabaqâtIbnSa’ad,Târîkhal-Khulafâ’ as-Suyuthi).

Sistem Islam juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapapun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan , hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah.” (HR. Abu Dawud).Dengan terpenuhinya segala kebutuhan mereka, tentunya hal ini akan cukup menekan terjadinya tindakan korupsi.

Sedangkan dalam upayanya untuk menghindari terjadinya kasus suap dalam berbagai modusnya, sistem Islam melarang pejabat Negara atau pegawai untuk menerima hadiah. Bisa kita lihat, pada masa sekarang ini banyak diantara pejabat/pegawai, ketika mereka melaporkan harta kekayaanya, kemudian banyak ditemukan harta yang tidak wajar, mereka menggunakan dalih mendapatkan hibah. Kasus seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan.” (HR. Abu Dawud).

Pilar lain dalam upaya pencegahan korupsi dalam Islam adalah dengan keteladanan pemimpin. Bisa di ambilkan contoh, Khalifah Umar Bin Abdul Aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali bagi kita ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya.Beliau juga pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara. Tampaknya hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi di negeri ini, ketika rakyatnya banyak yang lagi kesusahan, para pejabatnya justru banyak bergelimang kemewahan.

Begitulah. Sesungguhnya sistem Islam adalah solusi terbaik yang layak dipakai ketika semua solusi pemberantasan korupsi sudah tidak mempan lagi. Namun sistem Islam ini hanya bisa diterapkan dalam bingkai Negara Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Bukan negeri republik yang menerapkan sistem demokrasi.

Wallahua’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar