Pengarang : Abdul Qadim Zallum
Demokrasi yang telah
dijajakan negara Barat kafir ke negeri-negeri Islam, sesungguhnya adalah sistem
kufur. Ia tidak punya hubungan sama sekali dengan Islam, baik langsung maupun
tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam
garis besar maupun rinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang
melahirkannya atau asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan
yang dibawanya.
Karena itu, kaum
muslimin diharamkan secara mutlak mengambil, menerapkan dan menyebarluaskan
Demokrasi. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dibuat manusia,
dengan tujuan untuk membebaskan diri dari kezhaliman dan penindasan para
penguasa terhadap manusia atas nama agama. Demokrasi adalah suatu sistem yang
bersumber dari manusia. Tidak ada hubungannya dengan wahyu atau agama.
Kelahiran Demokrasi
bermula dari adanya para penguasa di Eropa yang beranggapan bahwa penguasa
adalah Wakil Tuhan di bumi dan berhak memerintah rakyat berdasarkan kekuasaan
Tuhan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah memberi mereka kewenangan membuat
hukum dan menerapkannya. Dengan kata lain, penguasa dianggap memiliki
kewenangan memerintah rakyat dengan peraturan yang dibuat penguasa itu sendiri,
karena mereka telah mengambil kekuasaannya dari Tuhan, bukan dari rakyat.
Lantaran hal itu, mereka menzhalimi dan menguasai rakyat — sebagaimana pemilik
budak menguasai budaknya — berdasarkan anggapan tersebut.
Lalu timbullah
pergolakan antara para penguasa Eropa dengan rakyatnya. Para filosof dan
pemikir mulai membahas masalah pemerintahan dan menyusun konsep sistem
pemerintahan rakyat — yaitu sistem Demokrasi — di mana rakyat menjadi sumber
kekuasaan dalam sistem tersebut. Penguasa mengambil sumber kekuasaannya dari
rakyat yang menjadi pemilik kedaulatan.
Rakyat dikatakan
memiliki kehendaknya, melaksanakan sendiri kehendaknya itu, dan menjalankannya
sesuai sesuai keinginannya. Tidak ada satu kekuasaan pun yang menguasai rakyat,
karena rakyat ibarat pemilik budak, yang berhak membuat peraturan yang akan
mereka terapkan, serta menjalankannya sesuai dengan keinginannya. Rakyat berhak
pula mengangkat penguasa untuk memerintah rakyat — karena posisinya sebagai
wakil rakyat — dengan peraturan yang dibuat oleh rakyat.
Karena itu, sumber
kemunculan sistem Demokrasi seluruhnya adalah manusia, dan tidak ada
hubungannya sama sekali dengan wahyu atau agama. Demokrasi merupakan lafal dan
istilah Barat yang digunakan untuk menunjukkan pemerintahan dari, oleh, dan
untuk rakyat. Rakyat dianggap penguasa mutlak dan pemilik kedaulatan, yang
berhak mengatur urusannya sendiri, serta melaksanakan dan menjalankan
kehendaknya sendiri. Rakyat tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan siapapun,
selain kekuasaan rakyat. Rakyat berhak membuat peraturan dan undang-undang
sendiri — karena mereka adalah pemilik kedaulatan — melalui para wakil rakyat
yang mereka pilih. Rakyat berhak pula menerapkan peraturan dan undang-undang
yang telah mereka buat, melalui para penguasa dan hakim yang mereka pilih dan
keduanya mengambil alih kekuasaan dari rakyat, karena rakyat adalah sumber
kekuasaan. Setiap individu rakyat — sebagaimana individu lainnya — berhak
menyelenggarakan negara, mengangkat penguasa, serta membuat peraturan dan
undang-undang.
Menurut konsep dasar
Demokrasi — yaitu pemerintahan yang diatur sendiri oleh rakyat — seluruh rakyat
harus berkumpul di suatu tempat umum, lalu membuat peraturan dan undang-undang
yang akan mereka terapkan, mengatur berbagai urusan, serta memberi keputusan
terhadap masalah yang perlu diselesaikan.
Namun karena tidak akan
mungkin mengumpulkan seluruh rakyat di satu tempat agar seluruhnya menjadi
sebuah lembaga legislatif, maka rakyat kemudian memilih para wakilnya untuk
menjadi lembaga legislatif. Lembaga inilah yang disebut dengan Dewan
Perwakilan, yang dalam sistem Demokrasi dikatakan mewakili kehendak umum rakyat
dan merupakan penjelmaan politis dari kehendak umum rakyat. Dewan ini kemudian
memilih pemerintah dan kepala negara — yang akan menjadi penguasa dan wakil
rakyat dalam pelaksanaan kehendak umum rakyat. Kepala negara tersebut mengambil
kekuasaan dari rakyat yang telah memilihnya, untuk memerintah rakyat dengan
peraturan dan undang-undang yang dibuat oleh rakyat. Dengan demikian, rakyatlah
yang memiliki kekuasaan secara mutlak, yang berhak menetapkan undang-undang dan
memilih penguasa yang akan melaksanakan undang-undang tersebut.
Kemudian, agar rakyat
dapat menjadi penguasa bagi dirinya sendiri serta dapat melaksanakan kedaulatan
dan menjalankan kehendaknya sendiri secara sempurna — baik dalam pembuatan
undang-undang dan peraturan maupun dalam pemilihan penguasa — tanpa disertai
tekanan atau paksaan, maka kebebasan individu menjadi prinsip yang harus
diwujudkan oleh Demokrasi bagi setiap individu rakyat. Dengan demikian rakyat
akan dapat mewujudkan kedaulatannya dan melaksanakan kehendaknya sendiri
sebebas-bebasnya tanpa tekanan atau paksaan.
Kebebasan individu ini
nampak dalam empat macam kebebasan berikut ini :
Kebebasan Beragama.
Kebebasan Berpendapat.
Kebebasan Kepemilikan.
Kebebasan Bertingkah
Laku.
Demokrasi lahir dari
aqidah pemisahan agama dari kehidupan yang menjadi asas ideologi Kapitalisme.
Aqidah ini merupakan jalan tengah yang tidak tegas, yang lahir dari pergolakan
antara para raja dan kaisar di Eropa dan Rusia dengan para filosof dan pemikir.
Saat itu para raja dan kaisar telah memanfaatkan agama sebagai alat
mengeksploitasi dan menzhalimi rakyat, serta alat untuk menghisap darah mereka.
Ini disebabkan adanya suatu anggapan bahwa raja dan kaisar adalah wakil Tuhan
di muka bumi. Para raja dan kaisar itu lalu memanfaatkan para rohaniwan sebagai
tunggangan untuk menzhalimi rakyat, sehingga berkobarlah pergolakan sengit
antara mereka dengan rakyatnya.
Pada saat itulah para
filosof dan pemikir bangkit. Sebagian di antara mereka ada yang mengingkari
keberadaan agama secara mutlak, dan ada pula yang mengakui keberadaan agama
tetapi menyerukan pemisahan agama dari kehidupan, yang kemudian melahirkan
pemisahan agama dari negara dan pemerintahan. Pergolakan ini berakhir dengan
suatu jalan tengah, yaitu pemisahan agama dari kehidupan yang dengan sendirinya
akan menyebabkan pemisahan agama dari negara. Ide ini merupakan aqidah yang
menjadi asas ideologi Kapitalisme dan menjadi landasan pemikiran (Qaidah
Fikriyah) bagi ideologi tersebut, yang mendasari seluruh bangunan pemikirannya,
menentukan orientasi pemikiran dan pandangan hidupnya, sekaligus menjadi sumber
pemecahan bagi seluruh problem kehidupan. Maka aqidah ini merupakan pengarahan
pemikiran (Qiyadah Fikriyah) yang diemban oleh Barat dan selalu diserukannya ke
seluruh penjuru dunia.
Jelaslah bahwa aqidah
tersebut telah menjauhkan agama dan Gereja dari kehidupan bernegara, yang
selanjutnya menjauhkan agama dari pembuatan peraturan dan undang-undang,
pengangkatan penguasa dan pemberian kekuasaan kepada penguasa. Oleh karena itu,
rakyat harus memilih peraturan hidupnya sendiri, membuat peraturan dan
undang-undang, dan mengangkat penguasa yang akan memerintah rakyat dengan
peraturan dan undang-undang tersebut, serta mengambil kekuasaannya berdasarkan
kehendak umum mayoritas rakyat.
Dari sinilah sistem
Demokrasi lahir. Jadi, ide pemisahan agama dari kehidupan adalah aqidah yang
telah melahirkan Demokrasi, sekaligus merupakan landasan pemikiran yang
mendasari seluruh ide-ide Demokrasi.
Demokrasi berlandaskan
dua ide :
Kedaulatan di tangan
rakyat.
Rakyat sebagai sumber
kekuasaan.
Kedua ide tersebut
dicetuskan oleh para filosof dan pemikir di Eropa ketika mereka melawan para
kaisar dan raja, untuk menghapuskan ide Hak Ketuhanan (Divine Rights) yang
menguasai Eropa waktu itu. Atas dasar ide itu, para raja menganggap bahwa
mereka memiliki Hak Ketuhanan atas rakyat dan hanya merekalah yang berhak
membuat peraturan dan menyelenggarakan pemerintahan serta peradilan. Raja
adalah negara.
Sementara itu rakyat
dianggap sebagai pihak yang harus diatur, dan dianggap tidak memiliki hak dalam
pembuatan peraturan, kekuasaan, peradilan, atau hak dalam apapun juga. Rakyat
berkedudukaan sebagai budak yang tidak memiliki pendapat dan kehendak,
melainkan hanya berkewajiban untuk taat saja kepada penguasa dan melaksanakan
perintah. Lalu disebarkanlah dua ide landasan Demokrasi tersebut untuk
menghancurkan ide Hak Ketuhanan secara menyeluruh, dan untuk memberikan hak
pembuatan peraturan dan pemilihan penguasa kepada rakyat. Dua ide tersebut
didasarkan pada anggapan bahwa rakyat adalah ibarat tuan pemilik budak, bukan
budak yang dikuasai tuannya. Jadi rakyat ibarat tuan bagi dirinya sendiri,
tidak ada satu pihak pun yang dapat menguasainya. Rakyat harus memiliki
kehendaknya dan melaksanakannya sendiri. Jika tidak demikian, berarti rakyat
adalah budak, sebab perbudakan artinya ialah kehendak rakyat dijalankan oleh
orang lain. Maka apabila rakyat tidak menjalankan kehendaknya sendiri, berarti
rakyat tetap menjadi budak.
Maka untuk membebaskan
rakyat dari perbudakan ini, harus dianggap bahwa rakyat saja yang berhak
menjalankan kehendaknya dan menetapkan peraturan yang dikehendakinya, atau
menghapus dan membatalkan peraturan yang tidak dikehendakinya. Sebab, rakyat
adalah pemilik kedaulatan yang mutlak. Rakyat harus dianggap pula berhak
melaksanakan peraturan yang ditetapkannya, serta memilih penguasa (badan
eksekutif) dan hakim (badan yudikatif) yang dikehendakinya untuk menerapkan
peraturan yang dikehendaki rakyat. Sebab, rakyat adalah sumber seluruh
kekuasaan, sementara penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat.
Dengan berhasilnya
revolusi melawan para kaisar dan raja serta robohnya ide Hak Ketuhanan, maka
kedua ide landasan Demokrasi tersebut — kedaulatan di tangan rakyat, dan rakyat
sebagai sumber kekuasaan — dapat diterapkan dan dilaksanakan. Dua ide inilah
yang menjadi asas sistem Demokrasi. Dengan demikian, rakyat bertindak sebagai
Musyarri' (pembuat hukum) dalam kedudukannya sebagai pemilik kedaulatan, dan
bertindak sebagai Munaffidz (pelaksana hukum) dalam kedudukannya sebagai sumber
kekuasaan.
Demokrasi adalah sistem
pemerintahan berdasarkan suara mayoritas. Anggota-anggota lembaga legislatif
dipilih berdasarkan suara mayoritas pemilih dari kalangan rakyat. Penetapan
peraturan dan undang-undang, pemberian mosi percaya atau tidak percaya kepada
pemerintah dalam dewan perwakilan, ditetapkan pula berdasarkan suara mayoritas.
Demikian pula penetapan semua keputusan dalam dewan perwakilan, kabinet, bahkan
dalam seluruh dewan, lembaga, dan organisasi lainnya, ditetapkan berdasarkan
suara mayoritas. Pemilihan penguasa oleh rakyat baik langsung maupun melalui
para wakilnya, ditetapkan pula berdasarkan suara mayoritas pemilih dari rakyat.
Oleh karena itu, suara
bulat (mayoritas) adalah ciri yang menonjol dalam sistem Demokrasi. Pendapat
mayoritas menurut Demokrasi merupakan tolok ukur hakiki yang akan dapat
mengungkapkan pendapat rakyat yang sebenarnya. Demikianlah penjelasan ringkas
mengenai Demokrasi dari segi pengertiannya, sumbernya, latar belakangnya,
aqidah yang melahirkannya, asas-asas yang melandasinya, serta hal-hal yang
harus diwujudkannya agar rakyat dapat melaksanakan Demokrasi.
Dari penjelasan ringkas
tersebut, nampak jelaslah poin-poin berikut ini :
1. Demokrasi adalah
buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Demokrasi
tidak bersandar kepada wahyu dari langit dan tidak memiliki hubungan dengan
agama mana pun dari agama-agama yang diturunkan Allah kepada para rasul-Nya.
2. Demokrasi lahir dari
aqidah pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya melahirkan pemisahan
agama dari negara.
3. Demokrasi
berlandaskan dua ide :
a. Kedaulatan di tangan
rakyat.
b. Rakyat sebagai
sumber kekuasaan.
4. Demokrasi adalah
sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan
diselenggarakan berdasarkan suara mayoritas para pemilih. Semua keputusan dalam
lembaga-lembaga tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas.
5. Demokrasi menyatakan
adanya empat macam kebebasan, yaitu:
a. Kebebasan Beragama
(freedom of religion)
b. Kebebasan
Berpendapat (freedom of speech)
c. Kebebasan
Kepemilikan (freedom of ownership)
d. Kebebasan Bertingkah
Laku (personal freedom)
Demokrasi harus
mewujudkan kebebasan tersebut bagi setiap individu rakyat, agar rakyat dapat
melaksanakan kedaulatanya dan menjalankannya sendiri. Juga agar dapat
melaksanakan haknya untuk berpartisipasi dalam pemilihan para penguasa dan
anggota lembaga-lembaga perwakilan dengan sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan
atau paksaan.
Dengan memperhatikan
poin 1 di atas, sebenarnya sudah jelas bahwa Demokrasi adalah sistem kufur,
tidak berasal dari Islam, dan tidak memiliki hubungan apapun dengan Islam. Namun sebelum kami menjelaskan lebih lanjut
pertentangan Demokrasi dengan Islam serta hukum syara' dalam pengambilannya,
kami ingin menjelaskan terlebih dahulu, bahwa Demokrasi itu sendiri sebenarnya
belum pernah diterapkan di negara-negara asal Demokrasi, dan bahwa praktek
Demokrasi itu sesungguhnya didasarkan pada kedustaan dan penyesatan. Kami ingin
menjelaskan pula tentang kerusakan dan kebusukan Demokrasi, serta berbagai
musibah dan malapetaka yang telah menimpa dunia akibat penerapan Demokrasi,
termasuk sejauh mana kebobrokan masyarakat yang menerapkan Demokrasi.
Demokrasi dalam
maknanya yang asli, adalah ide khayal yang tidak mungkin dipraktekkan.
Demokrasi belum dan tidak akan pernah terwujud sampai kapan pun. Sebab,
berkumpulnya seluruh rakyat di satu tempat secara terus menerus untuk
memberikan pertimbangan dalam berbagai urusan, adalah hal yang mustahil.
Demikian pula keharusan atas seluruh rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan
dan mengurus administrasinya, juga hal yang mustahil.
Oleh karena itu, para
penggagas Demokrasi lalu mengarang suatu manipulasi terhadap ide Demokrasi dan
mencoba menakwilkannya, serta mengada-adakan apa yang disebut dengan
"Kepala Negara", "Pemerintah" dan "Dewan
Perwakilan". Namun meskipun demikian, pengertian Demokrasi yang telah
ditakwilkan ini pun toh tetap tidak sesuai dengan fakta yang ada dan tidak
pernah pula terwujud dalam kenyataan. Klaim bahwa kepala negara, pemerintah,
dan anggota parlemen dipilih berdasarkan mayoritas suara rakyat; bahwa dewan
perwakilan adalah penjelmaan politis kehendak umum mayoritas rakyat; dan bahwa
dewan tersebut mewakili mayoritas rakyat, semuanya adalah klaim yang sangat
tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Sebab, anggota parlemen
sesungguhnya hanya dipilih sebagai wakil dari minoritas rakyat — bukan
mayoritasnya — mengingat kedudukan seorang anggota di parlemen itu sebenarnya
dicalonkan oleh sejumlah orang, bukan oleh satu orang. Karena itu suara para
pemilih di suatu daerah, harus dibagi dengan jumlah orang yang mencalonkan.
Dengan demikian, orang yang meraih suara mayoritas para pemilih di suatu daerah
sebenarnya tidak memperoleh suara mayoritas dari mereka yang berhak memilih di
daerah tersebut. Konsekuensinya ialah para wakil yang menang, sebenarnya hanya
mendapatkan suara minoritas rakyat, bukan mayoritasnya. Maka mereka menjadi
orang-orang yang mendapat kepercayaan dari minoritas rakyat dan menjadi wakil
mereka, bukan orang-orang yang mendapat kepercayaan dari mayoritas rakyat dan
tidak pula menjadi wakil mereka.
Demikian pula kepala
negara, baik yang dipilih oleh rakyat secara langsung maupun oleh para anggota
parlemen, sebenarnya juga tidak dipilih berdasarkan mayoritas suara rakyat,
tetapi berdasarkan minoritas suara rakyat, sebagaimana halnya pemilihan anggota
parlemen tersebut di atas.
Lagi pula, para kepala
negara dan anggota parlemen di negara-negara asal Demokrasi, seperti Amerika
Serikat dan Inggris, sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis — yaitu para
konglomerat dan orang-orang kaya — dan tidak mewakili kehendak rakyat ataupun
mayoritas rakyat. Kondisi ini dikarenakan para kapitalis raksasa itulah yang
mendudukkan mereka ke berbagai posisi pemerintahan dan lembaga-lembaga
perwakilan, yang akan merealisasikan kepentingan para kapitalis itu. Kaum
kapitalis tersebut telah membiayai proses pemilihan presiden dan anggota
parlemen, sehingga mereka memiliki pengaruh yang kuat atas presiden dan anggota
parlemen. Fakta ini sudah terkenal di Amerika. Sementara di Inggris, yang berkuasa
adalah orang-orang dari partai Konservatif. Partai Konservatif ini juga
mewakili para kapitalis raksasa, yaitu para konglomerat, para pengusaha dan
pemilik tanah, serta golongan bangsawan yang aristokratis. Partai Buruh tidak
dapat menduduki pemerintahan, kecuali terdapat kondisi politis yang
mengharuskan tersingkirnya Partai Konservatif dari pemerintahan. Oleh karena
itu, para penguasa dan anggota parlemen di Amerika Serikat dan Inggris
sebenarnya hanya mewakili para kapitalis, tidak mewakili kehendak rakyat
ataupun kehendak mayoritas rakyat.
Berdasarkan fakta ini,
maka pernyataan bahwa parlemen di negeri-negeri Demokrasi adalah wakil dari
pendapat mayoritas, merupakan perkataan dusta dan menyesatkan. Demikian pula
pernyataan bahwa para penguasa dipilih oleh mayoritas rakyat dan mengambil
kekuasaan mereka dari rakyat, juga merupakan dusta yang menyesatkan!
Di samping itu,
peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam parlemen-parlemen tersebut, serta
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara-negara tersebut, diputuskan dengan
pertimbangan: bahwa kepentingan para kapitalis harus lebih diutamakan daripada
kepentingan rakyat atau mayoritas rakyat. Kemudian pernyataan bahwa
penguasa/presiden bertanggung jawab kepada parlemen yang merupakan penjelmaan
kehendak umum rakyat; dan bahwa keputusan-keputusan yang penting tidak dapat
diambil kecuali dengan persetujuan mayoritas anggota parlemen, tidaklah sesuai
dengan hakekat dan kenyataan yang ada. Sir Anthony Eden (PM Inggris), misalnya,
telah mengumumkan Perang Suez terhadap Mesir tanpa memberi tahu baik kepada
parlemen maupun kepada para menteri yang memiliki andil dalam pemerintahannya.
Hanya dua atau tiga menteri saja yang diberitahu. John Foster Dulles pada saat
Perang Suez telah diminta oleh Kongres untuk menyerahkan laporan mengenai
Terusan Suez dan menjelaskan sebab-sebab pembatalan usulan pembiayaannya. Namun
dia menolak mentah-mentah untuk menyerahkan laporan tersebut kepada Kongres.
Sementara itu Charles de Gaulle telah mengambil keputusan-keputusan tanpa
diketahui para menterinya. Raja Hussein pun telah mengambil keputusan-keputusan
yang penting dan berbahaya tanpa diketahui oleh para menteri atau anggota
parlemen.
Oleh karenanya,
pernyataan bahwa parlemen-parlemen di negeri-negeri Demokrasi telah mewakili
pendapat mayoritas, dan bahwa para penguasa dipilih berdasarkan suara mayoritas
serta menjalankan pemerintahan menurut peraturan yang ditetapkan dan
dikehendaki oleh mayoritas, ternyata tidak sesuai dengan hakekat dan kenyataan
yang sebenarnya. Perkataan itu dusta dan menyesatkan!
Penjelasan di atas
berkenaan dengan kenyataan di negeri-negeri asal usul Demokrasi. Adapun
parlemen-parlemen di Dunia Islam, keadaannya lebih buruk lagi.
Parlemen-parlemen tersebut tak lebih dari sekedar istilah yang tidak ada faktanya.
Sebab, tidak ada satu parlemen pun di Dunia Islam yang berani mengkritik atau
menentang penguasanya, atau menentang sistem pemerintahannya. Parlemen Yordania
misalnya —yang dipilih dengan slogan "Mengembalikan Demokrasi dan
Mewujudkan Kebebasan" — ternyata tidak berani mengkritik Raja Hussein,
atau mengkritik rezim pemerintahannya. Padahal semua anggota parlemen tahu
bahwa penyebab krisis dan kemerosotan ekonomi yang terjadi tak lain adalah
kebobrokan rezim keluarga kerajaan yang telah mencuri harta kekayaan negara.
Kendatipun demikian,
tidak ada seorang anggota parlemen pun yang berani mengkritik rezim tersebut.
Mereka hanya berani mengkritik Zaid Rifa'i dan beberapa menteri. Padahal mereka
tahu bahwa Zaid Rifa'i dan para menteri itu hanyalah pegawai bawahan, yang
tidak akan berani mengambil satu tindakan pun tanpa mendapat ijin dan restu
dari raja.
Ini dari satu sisi.
Dari sisi lain, undang-undang yang ada umumnya justru dibuat oleh pemerintah,
dalam bentuk rancangan undang-undang. Kemudian rancangan undang-undang itu
dikirim oleh pemerintah ke parlemen, lalu dikaji oleh komisi-komisi khusus yang
akan memberikan pendapatnya mengenai rancangan tersebut, dan kemudian
menyetujuinya. Padahal faktanya banyak anggota parlemen yang tidak memahami isi
undang-undang tersebut sedikit pun, sebab pembahasan dalam undang-undang
tersebut bukan bidang keahlian mereka.
Oleh karena itu,
pernyataan bahwa peraturan yang ditetapkan oleh parlemen-parlemen di
negeri-negeri Demokrasi merupakan ungkapan kehendak umum rakyat, dan bahwa
kehendak umum itu mewakili kedaulatan rakyat, adalah pernyataan yang tidak
sesuai dengan hakikat dan kenyataan yang ada. Cacat yang menonjol dalam sistem
Demokrasi —yang berkaitan dengan pemerintahan dan kabinet — antara lain ialah
bila di dalam suatu negeri Demokrasi tidak terdapat partai-partai politik besar
— yang dapat mencapai mayoritas mutlak di parlemen dan menyusun kabinetnya
sendiri — maka pemerintah negeri tersebut akan selalu tidak stabil dan
kabinetnya akan terus digoncang dengan tekanan krisis-krisis politik yang silih
berganti. Hal ini terjadi karena pemerintah negeri tersebut sulit mendapatkan
kepercayaan mayoritas parlemennya, sehingga kondisi ini akan memaksa pemerintah
untuk meletakkan jabatannya. Kadang-kadang presiden selama berbulan-bulan tak
mampu membentuk kabinetnya yang baru sehingga pemerintah menjadi lumpuh atau
nyaris tak berfungsi. Kadang-kadang pula presiden terpaksa membubarkan parlemen
dan menyelengggarakan pemilu yang baru, dengan tujuan mengubah perimbangan kekuatan
politik agar dia dapat menyusun kabinetnya yang baru.
Krisis-krisis tersebut
terjadi berulang kali sehingga pemerintah selalu tidak stabil dan aktivitas
politiknya pun terus digoncang dan nyaris tak terurus. Kondisi seperti ini
pernah terjadi di Italia, Yunani, dan negeri-negeri Demokrasi yang lain, yang
memiliki banyak partai politik sementara tidak ada satu partai politik besar
yang mampu mendapatkan mayoritas mutlak. Karena kondisinya seperti itu, maka
tawar menawar selalu terjadi di antara partai-partai tersebut, sehingga
terkadang partai-partai kecil dapat mendikte partai-partai lain — yang mengajak
berkoalisi untuk membentuk kabinet — dengan cara mengajukan syarat-syarat yang
sulit sebagai langkah untuk mewujudkan kepentingannya sendiri. Dengan demikian,
partai-partai kecil — yang hanya mewakili minoritas rakyat itu — dapat
mengendalikan partai lain dan mendikte kegiatan politik negeri tersebut
termasuk penetapan kebijakan-kebijakan kabinetnya.
Di antara bencana
paling mengerikan yang menimpa seluruh umat manusia, ialah ide kebebasan
individu yang dibawa oleh Demokrasi. Ide ini telah mengakibatkan berbagai
malapetaka secara universal, serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat
di negeri-negeri Demokrasi sampai ke derajat yang lebih hina daripada derajat
segerombolan binatang!
Sebenarnya ide
kebebasan kepemilikan dan oportunisme yang dijadikan sebagai tolok ukur
perbuatan, telah mengakibatkan lahirnya para kapitalis yang bermodal. Mereka
ini jelas membutuhkan bahan-bahan mentah untuk menjalankan industrinya dan
membutuhkan pasar-pasar konsumtif untuk memasarkan produk-produk industrinya.
Hal inilah yang telah mendorong negara-negara kapitalis untuk bersaing satu
sama lain guna menjajah bangsa-bangsa yang terbelakang, menguasai harta
bendanya, memonopoli kekayaan alamnya, serta menghisap darah bangsa-bangsa
tersebut dengan cara yang sangat bertolak belakang dengan seluruh nilai-nilai
kerohanian, akhlak, dan kemanusiaan.
Keserakahan dan
kerakusan yang luar biasa dari negara-negara kapitalis itu, kekosongan jiwa
mereka dari nilai-nilai kerohanian, akhlak, dan kemanusiaan, serta persaingan
di antara mereka untuk mencari harta yang haram; telah membuat darah
bangsa-bangsa terjajah menjadi barang dagangan. Faktor-faktor tersebut juga
telah mengakibatkan berkobarnya fitnah dan peperangan di antara bangsa-bangsa
terjajah, sehingga negara-negara kapitalis tersebut dapat menjajakan
produk-produk industrinya dan dapat mengembangkan industri-industri militernya
yang menghasilkan keuntungan besar.
Sungguh betapa banyak
hal yang menggelikan sekaligus memuakkan, yang selalu menjadi bahan bualan
negara-negara Demokrasi penjajah yang tidak tahu malu itu. Amerika, Inggris,
dan Perancis, misalnya, selalu saja menggembar-gemborkan nilai-nilai Demokrasi
dan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) di mana-mana. Padahal pada waktu yang sama
mereka telah menginjak-injak seluruh nilai kemanusiaan dan akhlak, mencampakkan
seluruh Hak-Hak Asasi Manusia, dan menumpahkan darah berbagai bangsa di dunia.
Krisis-krisis di Palestina, Asia Tenggara, Amerika Latin, Afrika Hitam (Afrika
Tengah), dan Afrika Selatan, adalah bukti paling nyata yang akan menampar wajah
mereka dan akan membeberkan sifat mereka yang sangat pendusta dan tidak tahu
malu itu!
Adapun ide kebebasan
bertingkah laku, sesungguhnya telah memerosotkan martabat berbagai masyarakat
yang mempraktekkan Demokrasi sampai pada derajat masyarakat binatang yang
sangat rendah. Ide itu juga telah menyeret mereka untuk mengambil gaya hidup
serba-boleh (permissiveness) yang najis, yang bahkan tidak dijumpai dalam
pergaulan antar binatang. Maha Benar Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berfirman :
"Terangkanlah
kepada-Ku tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.
Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ? Atau apakah kamu mengira
bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami ? Mereka itu tidak lain
hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari
binatang ternak itu)." (Al-Furqaan 25:43-44)
Dalam masyarakat
Demokrasi ini, hubungan seksual menjadi aktivitas yang sah-sah saja — seperti
halnya minum air — karena telah disahkan oleh undang-undang yang ditetapkan
parlemen negeri-negeri tersebut dan direstui oleh para tokoh gerejanya.
Peraturan tersebut membolehkan hubungan seksual dan pergaulan lelaki-perempuan
dengan sebebas-bebasnya bila masing-masing telah berumur 18 tahun. Negara dan
orang tua tidak berwenang sedikit pun untuk mencegah segala perilaku seksual
tersebut.
Undang-undang itu
ternyata tidak sekedar membenarkan hubungan seksual dengan lawan jenis, tetapi
lebih dari itu telah membolehkan hubungan seksual sesama jenis. Bahkan beberapa
negeri Demokrasi telah mengesahkan pernikahan antara dua orang yang berkelainan
seksual, yakni pria dibolehkan menikahi sesamanya, dan wanita dibolehkan
menikahi sesamanya pula. Karena itu di antara fenomena yang dianggap wajar dan
biasa dalam masyarakat Demokrasi, ialah Anda akan menyaksikan — di jalan-jalan,
taman-taman, bus-bus, dan di wagon-wagon kereta api — para pemuda dan pemudi
saling berciuman, berangkulan, berpelukan, serta saling mengisap bibir dan
bercumbu. Semua ini mereka lakukan tanpa rasa sungkan dan risih sedikit pun
karena perilaku semacam itu oleh mereka sudah dianggap biasa dan wajar-wajar
saja.
Begitu pula sudah
dianggap biasa kalau para wanita Barat menunggu matahari terbit pada musim
panas dengan cara berbaring di taman-taman dengan tubuh telanjang — persis
seperti keadaan mereka tatkala dilahirkan oleh ibu-ibu mereka — tanpa penutup
kecuali secarik kain yang menutupi bagian tubuh mereka yang paling vital. Juga
sudah dianggap biasa para wanita di sana pada musim panas berjalan-jalan dengan
tubuh nyaris bugil dan tidak menutupi tubuh mereka, kecuali hanya sekedarnya
saja.
Berbagai perilaku
seksual yang menyimpang dan abnormal telah memenuhi masyarakat Demokrasi yang
bejat ini. Perilaku homoseksual antar lelaki, lesbianisme di kalangan wanita,
dan pemuasan seksual dengan binatang (bestiality) telah banyak terjadi. Juga
banyak terjadi perilaku seksual kolektif (orgy), di mana beberapa pria dan
wanita melakukan hubungan seksual bersama-sama. Padahal perilaku seperti ini
bahkan tak akan dijumpai di dalam kandang-kandang binatang ternak sekalipun.
Sensus sebuah koran
Amerika Serikat menyebutkan, bahwa 25 juta pelaku seksual yang menyimpang di Amerika
Serikat telah menuntut pengesahan perkawinan di antara mereka dan menuntut
hak-hak yang sama seperti yang dimiliki oleh orang normal. Sebuah koran lain
juga mempublikasikan data, bahwa satu juta orang di Amerika Serikat telah
melakukan hubungan seksual dengan keluarga mereka sendiri (incest), baik dengan
ibu, anak perempuan, maupun saudara perempuan mereka. Perilaku serba boleh gaya
binatang inilah yang telah menyebarluaskan berbagai penyakit kelamin — yang
paling mematikan adalah AIDS — dan juga telah menghasilkan banyak anak zina,
sampai-sampai sebuah koran menyebutkan bahwa 75 % orang Inggris adalah anak
zina.
Dalam masyarakat
Demokrasi, institusi keluarga benar-benar telah hancur berantakan. Tak ada lagi
yang namanya rasa kasih sayang di antara bapak, anak, ibu, saudara lelaki, dan
saudara perempuan. Karenanya, sudah merupakan pemandangan biasa, jika terdapat
puluhan bahkan ratusan pria dan wanita tua bangka yang berjalan-jalan di taman
hanya bertemankan anjing-anjing. Hewan inilah yang menemani kaum lanjut usia
itu di rumah, di meja makan, dan bahkan di tempat tidur mereka! Anjing-anjing
itu menjadi sahabat dalam kesendirian mereka, sebab masing-masing memang hanya
hidup sebatang kara. Tak ada sahabat lagi selain anjing.
Itulah beberapa contoh
kerusakan yang dihasilkan oleh nilai-nilai Demokrasi, khususnya ide kebebasan
individu yang selalu mereka dengung-dengungkan itu. Itu pula salah satu bentuk
dan penampilan peradaban mereka yang senantiasa mereka bangga-banggakan, mereka
gembar-gemborkan, dan mereka sebarluaskan ke seluruh pelosok dunia. Tujuannya
tak lain agar seluruh dunia ikut terjerumus ke dalam peradaban mereka yang
sangat buruk itu. Kebejatan-kebejatan tersebut tidak mempunyai makna apa-apa,
kecuali menunjukkan kerusakan, keburukan, dan kebusukan Demokrasi.
Beberapa kerusakan dan
keburukan Demokrasi tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
Masyarakat-masyarakat
Demokrasi Barat telah bejat sedemikian rupa, hingga terpesosok ke derajat
binatang yang kotor, yang bahkan tidak pernah ada dalam komunitas binatang
ternak. Hal ini akibat adanya keliaran yang dihasilkan oleh ide
kebebasanbertingkah laku.
Penjajahan Barat yang
demokratis itu telah nyata-nyata menimbulkan berbagai krisis, bencana, dan
penghisapan bangsa-bangsa yang terjajah dan terbelakang; dengan cara mencuri
sumber daya alam, merampok kekayaan mereka, memelaratkan penduduk, dan
menistakan rakyat-rakyatnya, serta menjadikan negeri-negeri mereka sebagai
pasar konsumtif bagi industri dan produk mereka.
Demokrasi dalam arti
yang sebenaranya tidak mungkin diterapkan. Bahkan dalam pengertiannya yang
baru, sesudah dita'wilkan, tetap tidak sesuai dengan fakta dantidak akan
terwujud dalam kenyataan.
Kedustaan dan
kebohongan para penganut Demokrasi telah nyata. Mereka mengklaim bahwa parlemen
adalah wakil dari kehendak umum masyarakat, merupakan perwujudanpolitis
kehendak umum mayoritas rakyat, dan mewakili pendapat mayoritas. Nyata pula
kedustaan mereka yang mengklaim bahwa hukum-hukum yang dibuat parlemen
ditetapkan berdasarkan mayoritas suara wakil rakyat yang mengekspresikan
kehendak mayoritas rakyat. Begitu pula nyata kedustaan mereka yang mengklaim
bahwa para penguasa dipilih oleh mayoritas rakyat serta mengambil kekuasaannya
dari rakyat.
Cacat dalam sistem
Demokrasi telah jelas, khususnya aspek yang berhubungan dengan kekuasaan dan
para penguasa jika tidak terdapat partai-partai besar di suatu negeri yangakan
menjadi golongan mayoritas di dalam dewan perwakilan.
Ya, meskipun semua
keburukan tersebut telah terjadi, namun Barat yang kafir ternyata telah mampu
memasarkan ide-ide Demokrasi yang rusak itu di negeri-negeri Islam! Adapun
bagaimana Barat yang kafir itu dapat berhasil memasarkan ide-ide Demokrasi yang
kufur — yang tidak berhubungan sama sekali dengan hukum-hukum Islam itu — dinegeri-negeri
Islam?
Jawabnya adalah bahwa
keberhasilan Barat dalam hal ini disebabkan negara-negara Eropa yang kafir dan
sangat dengki dan dendam terhadap Islam dan kaum muslimin itu, dalam hati
mereka terdapat rasa dendam yang sangat dalam terhadap Islam dan kaum muslimin.
Maha Benar Allah dengan firman-Nya:
"...telah nyata
kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah
lebih besar lagi." (Ali 'Imraan 3:118)
Mereka telah memahami
bahwa rahasia kekuatan kaum muslimin terletak pada ajaran Islam itu sendiri.
Sebab Aqidah Islamiyah adalah sumber kekuatan yang dahsyat bagi umat Islam.
Maka setelah itu, mereka pun menyusun strategi jahannam untuk memerangi Dunia
Islam, dengan jalan melancarkan serangan misionaris (kristenisasi) dan serangan
kebudayaan (berupa westernisasi). Serangan kebudayaan (westernisasi) ini
ternyata telah mengusung kebudayaan dan ide-ide barat — termasuk Demokrasi —
serta peradaban dan pandangan hidup Barat ke Dunia Islam.
Negara-negara Eropa itu
segera menyerukan ide-ide tersebut kepada kaum muslimin, dengan maksud agar
kaum muslimin menjadikannya sebagai asas cara berpikir dan pandangan hidup
mereka, sehingga pada gilirannya negara-negara Eropa itu akan dapat
menyimpangkan kaum muslimin dari Islam serta menjauhkan mereka dari
keterikatannya dengan Islam dan kewajiban penerapan hukum-hukumnya. Tujuan
akhirnya ialah agar Barat dapat dengan mudah menghancurkan negara Islam — yakni
negara Khilafah — dan kemudian menghapuskan penerapan hukum-hukum Islam dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian kaum muslimin
selanjutnya akan mudah diarahkan untuk mengambil berbagai ide, peraturan, dan
undang-undang kafir, sebagai ganti dari Islam. Akhirnya Barat akan dapat
menjauhkan kaum muslimin dari Islam dan dapat mengencangkan cengkeramannya atas
mereka. Maha Benar Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah berfirman :
"Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah, 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).
Dan sesungguhnya jika kamu (Muhammad) mengikuti kemauan mereka setelah
pengetahuan (bukti yang nyata) datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong bagimu." (Al- Baqarah 2:120)
Serangan misionaris dan
kebudayaan ini semakin sengit ketika kemerosotan kaum muslimin di bidang
pemikiran dan politik semakin parah pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah (pada
paruh kedua abad XIX M). Pada saat itu telah terjadi perubahan dalam
perimbangan kekuatan yang menunjukkan keunggulan negara-negara Eropa. Yaitu
setelah terjadinya revolusi pemikiran dan revolusi industri di Eropa dan
terwujudnya berbagai kreativitas dan penemuan ilmiah, yang dengan cepat
menghantarkan Eropa menuju ketinggian dan kemajuan. Sementara itu, Khilafah Utsmaniyah
tetap jumud dan semakin lemah dari hari ke hari. Kondisi inilah yang akhirnya
mengakibatkan banjirnya berbagai kebudayaan, ide, peradaban, dan peraturan
Barat yang mengalir deras ke negeri-negeri Islam. Negara-negara Eropa dalam
serangan misionaris dan kebudayaan yang ditujukan ke negeri-negeri Islam
menggunakan cara merendahkan ajaran Islam dan menjelek-jelekkan hukum-hukumnya,
menyebarkan keraguan kepada kaum muslimin terhadap kebenaran ajaran Islam,
membangkitkan kebencian kaum muslimin terhadap Islam, serta menyatakan bahwa
Islamlah yang menjadi sebab kemerosotan dan kemunduran mereka. Sebaliknya,
negara-negara Eropa mengagung-agungkan Barat dan peradabannya,
membangga-banggakan ide dan sistem Demokrasi, serta menggembar-gemborkan
kehebatan peraturan dan undang-undang Demokrasi itu.
Selain itu,
negara-negara Eropa juga menggunakan cara penyesatan. Yaitu menyebarkan
sangkaan di tengah-tengah kaum muslimin bahwa peradaban Barat tidak
bertentangan dengan peradaban Islam, dengan alasan bahwa peradaban Barat
sebenarnya berasal dari Islam juga, dan bahwa peraturan dan undang-undang Barat
sesungguhnya tidak menyalahi hukum-hukum Islam.
Mereka juga melekatkan
sifat Islam pada ide dan peraturan Demokrasi, serta menyatakan bahwa Demokrasi
tidak menyalahi atau bertentangan dengan Islam. Bahkan mereka katakan Demokrasi
itu berasal dari Islam itu sendiri, atau identik dengan musyawarah, amar ma'ruf
nahi munkar, dan mengoreksi penguasa. Propaganda mereka ini ternyata sangat
mempengaruhi kaum muslimin sehingga akhirnya mereka dapat dikendalikan oleh
ide-ide dan peradaban
Barat.
Propaganda tersebut
juga berhasil mendorong kaum muslimin untuk mengambil beberapa peraturan dan
undang-undang Barat pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah. Dan setelah negara
khilafah hancur, kaum muslimin malahan mengambil sebagian besar peraturan dan
undang-undang Barat. Propaganda Barat itu berhasil pula mempe-ngaruhi kaum
terpelajar, para politikus, para pengemban Tsaqafah Islamiyah, sebagian
pengemban dakwah Islam, dan mayoritas kaum muslimin.
Mengenai kaum
terpelajar, sesungguhnya sangat banyak dari mereka yang terpengaruh oleh
kebudayaan Barat — yang telah dijadikan asas pendidikan mereka — tatkala mereka
mempelajari kebudayaan tersebut di Barat ataupun di negeri-negeri Islam
sendiri. Ini disebabkan karena kurikulum pendidikan negeri-negeri Islam setelah
Perang Dunia I, telah disusun atas dasar falsafah dan pandangan hidup Barat.
Kondisi ini menyebabkan banyak dari kaum terpelajar yang akhirnya menggemari,
menggandrungi, dan bahkan mengagung-agungkan kebudayaan Barat. Sebaliknya
mereka mengingkari Tsaqafah Islamiyah dan hukum-hukum Islam jika bertentangan
dengan kebudayaan, peraturan, dan undang-undang Barat. Mereka pun akhirnya
membenci Islam sebagaimana halnya orang-orang kafir Eropa membenci Islam, serta
sangat memusuhi kebudayaan, peraturan, dan hukum Islam, sebagaimana halnya
kelakuan orang-orang Eropa yang kafir itu. Kaum terpelajar ini akhirnya menjadi
corong-corong propaganda bagi peradaban, ide, dan peraturan Barat, sekaligus menjadi
alat penghancur dan penghina bagi peradaban, hukum, dan peraturan Islam.
Mengenai para
politikus, sesungguhnya mereka telah benar-benar mengikhlaskan dirinya untuk
mengabdi kepada Barat dan peraturannya. Mengikatkan diri dengan Barat dan
menjadikan Barat sebagai kiblat perhatian mereka. Mereka meminta tolong kepada
Barat, mengandalkan bantuannya, dan menobatkan diri sebagai penjaga berbagai
undang-undang dan peraturan Barat.
Bahkan dengan suka rela
mereka mengangkat diri mereka sebagai budak-budak yang bertugas melestarikan
kepentingan Barat dan menjalankan semua konspirasinya yang sangat jahat. Dengan
demikian mereka telah menyatakan permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya dan
telah mengumumkan perang terhadap "Islam politik" beserta segenap
pengemban dakwahnya yang ikhlas. Mereka mencurahkan segala potensi yang mereka
miliki untuk menghalang-halangi berdirinya negara Khilafah dan kembalinya hukum
yang diturunkan Allah ke tahta kekuasaan. Dilaknati Allah-lah mereka, bagaimana
mereka sampai berpaling dari kebenaran ?
Adapun para pengemban
Tsaqafah Islamiyah, sesungguhnya mereka tidak lagi memiliki kesadaran terhadap
Islam dan hakikat/realitas hukum-hukum syara', serta tidak menyadari pula
hakikat peradaban, ide, dan peraturan Barat. Selain itu, mereka juga tidak
mengetahui kontradiksi antara peradaban, ide, dan pandangan hidup Barat dengan
aqidah, hukum, peradaban, dan pandangan hidup Islam.
Kondisi tersebut
terjadi karena taraf pemikiran kaum muslimin telah merosot sehingga mereka
sangat lemah dalam memahami Islam dan hukum-hukumnya, serta telah salah paham
dalam memahami cara penerapan syari'at Islam di tengah masyarakat. Akibatnya, Islam lalu ditafsirkan dengan
pengertian yang tidak sesuai dengan kandungan nash-nash syara'. Demikian juga
hukum-hukum Islam ditakwilkan agar sesuai dengan kondisi yang ada, bukan
sebaliknya, yaitu mengubah kondisi yang ada agar sesuai dengan hukum-hukum
Islam. Mereka kemudian mengambil berbagai hukum yang tidak ada dasarnya dari
syara', atau dasarnya lemah, dengan hujah kaidah syar'iyah rumusan mereka yang
sangat keliru : "Tidak diingkari adanya perubahan hukum-hukum karena
adanya perubahan zaman."
Akhirnya Islam pun
ditakwilkan banyak orang agar sesuai dengan setiap aliran, gagasan, dan
ideologi, walaupun penakwilan mereka bertentangan dengan hukum-hukum dan
pandangan hidup Islam. Mereka lalu mengatakan bahwa peradaban dan ide-ide Barat
tidaklah bertentangan dengan Islam dan hukum-hukum Islam, karena semua itu
justru diambil dari peradaban Islam. Mereka katakan pula bahwa sistem
pemerintahan Demokrasi dan sistem ekonomi Kapitalisme juga tidak bertentangan
dengan hukum-hukum Islam, padahal faktanya kedua sistem tersebut adalah sistem
kufur. Mereka berkata pula bahwa ide Demokrasi dan kebebasan individu itu
berasal dari Islam, padahal kedua ide itu pada hakekatnya sangat bertentangan
dengan Islam.
Dengan demikian,
muncullah ketidakjelasan dalam benak mereka mengenai apa-apa yang boleh diambil
kaum muslimin dari bangsa dan umat lain — seperti ilmu kedokteran, perikanan,
matematika, kimia, pertanian, industri, peraturan lalu lintas, transportasi,
dan perkara mubah lainnya yang tidak menyalahi Islam — dengan apa-apa yang
tidak boleh mereka ambil, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan Aqidah
Islamiyah dan hukum-hukum syara'.
Hal-hal seperti ini
tidak boleh diambil dari bangsa dan umat lain. Sebab, segala sesuatu yang
berhubungan dengan aqidah dan hukum syara' tidak boleh diambil kecuali dari
wahyu yang dibawa Rasulullah, yaitu Al-Kitab dan As-Sunah, serta dalil-dalil
syara' yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunah, yaitu Qiyas dan Ijma'
Sahabat.
Ketidakjelasan dalam
benak mereka inilah yang akhirnya menyebabkan Barat mampu menjajakan peradaban
dan pandangan hidup mereka, ide Demokrasi dan Kapitalisme, serta ide kebebasan
individu di negeri-negeri Islam.
Sebelum kami
menjelaskan pertentangan Demokrasi dengan Islam dan menerangkan hukum syara'
dalam pengambilan Demokrasi, kami ingin mengupas tentang hal-hal yang boleh dan
yang tidak boleh diambil kaum muslimin dari umat dan bangsa lain. Serta tentang
hal-hal yang haram diambil oleh kaum muslimin, sesuai dengan nash-nash dan
hukum-hukum syara'.
Penjelasan kami sebagai
berikut :
1. Sesungguhnya seluruh
perbuatan manusia, dan seluruh benda-benda yang digunakannya dan atau
berhubungan dengan perbuatan manusia, hukum asalnya adalah mengikuti Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan terikat dengan hukum-hukum risalah beliau.
Keumuman ayat-ayat hukum menunjukkan bahwa dalam masalah-masalah tersebut wajib
hukumnya merujuk kepada syara' dan terikat dengan hukum-hukum syara'. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Apa-apa yang
diberikan/diperintahkan Rasul kepada-mu maka terimalah/laksankanlah, dan apa
yang dila-rangnya bagimu maka tinggalkanlah." (Al-Hasyr 59:7)
"Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
(Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka
perselisihkan,..." (An-Nisaa' 4: 65)
"Tentang sesuatu
apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah."
(Asy-Syuura 42:10)
"Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Quran) dan Rasul(Nya) (Sunnahnya)." (An-Nisaa' 4:59)
Bersabda Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: "Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan
yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak." (HR.
Muslim)
"Siapa saja yang
mengada-adakan — dalam urusan (agama) kami ini — sesuatu yang tidak berasal
darinya, maka hal itu tertolak." (HR. Bukhari)
Dalil-dalil ini
menunjukkan bahwa mengikuti hukum syara' dan terikat dengannya adalah wajib.
Baik yang berkaitan dengan perbuatan manusia maupun benda-benda yang
digunakannya.
Dengan demikian,
seorang muslim tidak boleh melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, kecuali
setelah mengetahui hukum Allah untuk perbuatan itu. Ia harus tahu apakah suatu
perbuatan hukumnya wajib atau mandub sehingga dia dapat melakukannya; ataukah
hukumnya haram atau makruh sehingga dia harus meninggalkannya, ataukah mubah
sehingga dia berhak memilih untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya.
Atas dasar inilah, maka untuk perbuatan manusia berlaku kaidah bahwa hukum asal
perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allah.
Adapun benda-benda yang
berhubungan dengan perbuatan manusia, maka hukum asalnya adalah mubah, selama
tidak terdapat dalil yang mengharamkannya. Jadi hukum asal benda adalah mubah.
Benda tidak diharamkan kecuali jika terdapat dalil syar'i yang menunjukkan
keharamannya. Prinsip ini didasarkan pada nash-nash syara' yang telah
membolehkan manusia untuk memanfaatkan semua benda yang ada (di alam
sekitarnya), sesuai nash-nash umum dalam masalah ini yang meliputi semua benda.
Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman :
"Tidakkah kalian
perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kalian apa saja yang ada
di langit dan apa yang ada di bumi." (Luqman 31:20)
Arti menundukkan
seluruh apa yang ada di langit dan bumi untuk manusia, adalah bahwasanya Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah membolehkan semua yang ada di dalamnya untuk
dimanfaatkan oleh manusia.
Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman pula :
"Dialah (Allah)
yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kalian." (Al- Baqarah 2:29)
"Hai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik (tidak menjijikkan) dari apa yang
terdapat di bumi." (Al Baqarah 2:168)
"Dialah (Allah)
yang menjadikan bumi itu mudah bagi kalian, maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya" (Al-Mulk 67:15)
Demikianlah. Semua ayat
yang telah membolehkan segala sesuatu itu bersifat umum dan keumumannya ini menunjukkan
hukum bolehnya memanfaatkan segala sesuatu yang ada. Dengan kata lain, hukum
bolehnya memanfaatkan semua benda telah ditunjukkan oleh khithab (seruan)
Asy-Syari' (Allah Subhanahu wa Ta'ala) yang bersifat umum. Maka jika suatu
benda diharamkan, berarti harus ada nash syara' yang mengkhususkan keumuman
nash tersebut, serta menunjukkan pengecualian benda tersebut dari hukum mubah
yang bersifat umum.
Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Diharamkan bagi
kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk
dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, dan
(diharamkan bagi kalian) yang disembelih untuk berhala..." (Al- Maaidah
5:3)
Dari dalil-dalil
tersebut, maka hukum asal terhadap benda-benda yang digunakan manusia, adalah
mubah.
2. Hukum-hukum Syari'at
Islam secara sempurna telah meliputi seluruh fakta yang telah ada, problem yang
sedang terjadi, dan kejadian yang mungkin akan ada pada masa mendatang. Tidak
ada sesuatu pun yang terjadi, baik pada masa lalu, saat ini, maupun masa depan,
kecuali ada hukumnya dalam Syari'at Islam. Jadi, Syari'at Islam telah
menjangkau semua perbuatan manusia secara sempurna dan menyeluruh.
Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman :
"Dan Kami turunkan
kepadamu Al Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai
petunjuk serta rahmat dan pemberi kabar gembira bagi orang- orang Islam."
(An-Nahl 16:89)
"Tiadalah Kami
alpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab (Al-Quran)." (Al-An'aam 6:38)
"Pada hari ini
telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada
kalian ni'mat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagi kalian."
(Al-Maaidah 5: 3)
Walhasil, Syari'at Islam
tidak pernah melalaikan satu pun perbuatan manusia. Bagaimana pun juga
perbuatan itu, Syari'at Islam pasti akan menetapkan dalil untuk suatu perbuatan
melalui nash Al-Quran dan Al-Hadits, atau dengan menetapkan tanda (amaarah)
dalam Al-Quran dan Al-Hadits yang menunjukkan maksud dari tanda tersebut atau
menunjukkan alasan penetapan hukumnya, sehingga hukum yang ada dapat diterapkan
pada setiap objek hukum yang mengandung tanda atau alasan tersebut.
Jadi, secara syar'i
tidak mungkin ada perbuatan manusia yang tidak dijelaskan oleh dalil, atau
tanda yang menunjukkan status hukumnya. Ini berdasarkan keumuman firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:
"untuk menjelaskan
segala sesuatu" (An Nahl 16:89).
Juga berdasarkan nash
yang tegas bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyempurnakan agama Islam ini
(Al-Maaidah 5:3).
3. Berdasarkan dua poin
penjelasan sebelumnya, jelaslah mana saja hal-hal yang boleh diambil kaum
muslimin — dari apa yang dimiliki oleh umat dan bangsa lain — dan mana saja
yang tidak boleh mereka ambil.
Seluruh ide yang
berhubungan dengan sains, teknologi, penemuan-penemuan ilmiah, dan yang
semisalnya, serta segala macam bentuk benda/alat/bangunan yang bercorak
kekotaan dan terlahir dari kemajuan sains dan teknologi, boleh diambil oleh
kaum muslimin. Kecuali jika terdapat aspek-aspek tertentu yang menyalahi ajaran
Islam, maka kaum muslimin haram untuk mengambilnya.
Ini dikarenakan semua
pemikiran yang berkaitan dengan sains dan teknologi tidaklah berhubungan dengan
Aqidah Islamiyah dan hukum-hukum syara' yang berkedudukan sebagai solusi
terhadap problematika manusia dalam kehidupan, melainkan dapat dikategorikan ke
dalam sesuatu yang mubah, yang dapat dimanfaatkan manusia dalam berbagai urusan
hidupnya.
Dalil untuk ketentuan
tersebut adalah ayat-ayat yang bersifat umum yang menerangkan bolehnya
memanfaatkan seluruh benda-benda yang ada di alam semesta bagi kepentingan
manusia.
Juga berdasarkan hadits
Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam : "Sesungguhnya aku ini
manusia biasa seperti kalian. Jika aku perintahkan kepada kalian mengenai
sesuatu hal yang termasuk dalam urusan agama kalian, maka laksanakanlah
perintah itu. Tapi jika aku perintahkan
kalian mengenai sesuatu hal yang termasuk dalam urusan dunia kalian, maka
ketahuilah aku ini hanyalah manusia biasa." (HR. Muslim).
Juga berdasarkan hadits
Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang penyerbukan korma sebagaimana
sabdanya : "Kalian lebih mengetahui urusan-urusan dunia kalian." (HR.
Muslim)
Juga berdasarkan
tindakan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tatkala mengutus beberapa
shahabatnya ke suatu daerah di Yaman untuk mempelajari pembuatan senjata
perang.
Atas dasar inilah, maka
setiap perkara yang tidak termasuk masalah aqidah atau hukum syara', boleh
untuk diambil selama tidak menyalahi ajaran Islam dan sepanjang tidak terdapat
dalil khusus yang mengharamkannya.
Berdasarkan uraian di
atas, kaum muslimin dibolehkan mengambil semua ilmu-ilmu yang berhubungan
dengan kedokteran, teknik, matematika, astronomi, kimia, fisika, pertanian,
industri, transportasi, ilmu kelautan, geografi, ilmu ekonomi — yang membahas
aspek produksi, peningkatan kualitasnya, serta pengadaan sarana-sarana produksi
dan peningkatan kualitasnya. Sebab, ilmu ini bersifat universal dan tidak
dikhususkan untuk umat penganut Islam, Kapitalisme atau Sosialisme, dan semua
ilmu tersebut boleh diambil selama tidak menyalahi ajaran Islam.
Maka dari itu, Teori
Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah keturunan kera, tidak boleh diambil
karena teori ini bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Dia menciptakan
manusia dari tanah kering seperti tembikar." (Ar-Rahmaan 55:14)
"(Dialah Tuhan)
yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari sari air yang hina (mani)." (As-Sajdah 32:7)
"Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah." (Ar-Ruum
30: 20)
Sebagaimana dibolehkan
mengambil semua ilmu-ilmu seperti yang kami sebutkan di atas, kaum muslimin
dibolehkan pula mengambil benda apa saja yang dihasilkannya seperti
produk-produk industri, alat-alat, mesin-mesin, dan berbagai bentuk benda yang
bercorak kekotaan dan berhubungan dengan sivilisasi. Maka dari itu dibolehkan
mengambil pabrik-pabrik industri dalam segala jenisnya dan segala jenis
produknya. Dikecualikan di sini pabrik-pabrik yang memproduksi patung, minuman
keras, dan salib, karena terdapat nash yang mengharamkannya. Produk-produk
industri boleh diambil baik yang berupa benda kemiliteran maupun bukan, baik
industri berat — seperti tank, pesawat tempur, peluru kendali, satelit, bom
atom, bom hidrogen, bom elektronik, bom kimia, traktor, truk, kereta api, kapal
api — maupun industri ringan seperti industri konsumtif, senjata-senjata
ringan, alat-alat laboratorium, alat-alat kedokteran, alat-alat pertanian,
furniture, karpet, dan barang-barang konsumtif.
Semua yang telah
disebutkan di atas boleh diambil sebab semuanya termasuk dalam kategori
benda-benda yang mubah, dan dalam hal ini terdapat dalil umum yang menunjukkan
kemubahannya. Tindakan mengambilnya adalah berstatus mengamalkan hukum syara',
yaitu mubah, dan juga dalam rangka mengikuti syari'at Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam sebab semua itu termasuk mubah, sedang mubah merupakan salah
satu hukum taklif (legal capacity) yang lima, yaitu: wajib, mandub, haram,
makruh, dan mubah.
4. Adapun ide-ide yang
berkaitan dengan aqidah dan hukum-hukum syara', serta ide-ide yang yang
berhubungan dengan peradaban/kultur Islam, pandangan hidup Islam, dan
hukum-hukum yang menjadi solusi bagi seluruh problema manusia, maka semua ide
ini wajib disesuaikan dengan ketentuan syara', dan tidak boleh diambil dari
mana pun kecuali hanya dari Syari'at Islam saja. Artinya, hanya diambil dari
wahyu yang terkandung dalam
Kitabullah, Sunah
Rasul-Nya, dan apa-apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma' Sahabat dan
Qiyas, serta sama sekali tidak boleh diambil dari selain sumber-sumber
tersebut.
Dalil syar'i untuk
ketentuan di atas adalah sebagai berikut :
a. Sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kita untuk mengambil apa saja yang
dibawa oleh Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada kita dan meninggalkan
apa saja yang dilarang oleh beliau.
Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman :
"Apa saja yang
diberikan/diperintahkan Rasul kepada kalian maka terimalah/laksanakanlah dia,
dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah." (Al-Hasyr 49:7)
Kata " (apa
saja)" dalam ayat di atas termasuk bentuk kata yang bersifat umum, yang
berarti ayat itu mewajibkan kita mengambil semua hukum yang dibawa Nabi untuk
kita, dan menjauhi semua yang dilarang beliau bagi kita. Mafhum mukhalafah
(penentuan lawan hukum) dari ayat itu adalah bahwa kita tidak boleh mengambil
hukum dari selain hukum yang dibawa Nabi untuk kita.
b. Sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati-Nya dan
mentaati Rasul-Nya.
Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman :
"Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (-Nya) dan ulil amri (penguasa
muslim yang menjalankan Syari'at Islam) di antara kamu." (An-Nisaa' 4:59)
Mentaati Allah dan
Rasul-Nya tidak mungkin terwujud kecuali dengan mengamalkan dan mengambil
hukum-hukum syara' yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.
c. Sesungguhnya Allah
telah memerintahkan kaum muslimin untuk berpegang teguh dengan apa yang telah
diputuskan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Dia telah memerintahkan mereka
untuk kembali (merujuk) kepada hukum Allah dan hukum Rasul-Nya ketika terjadi
perselisihan dan perbedaan pendapat.
Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
"Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka." (Al-Ahzab 33:36)
"Kemudian jika
kalian (rakyat dan penguasa) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembali-kanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunahnya), jika kalian
memang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir." (An-Nisaa' 4:59)
d. Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah memerintahkan Rasul-Nya yang mulia untuk memberikan keputusan
berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah, dan memperingatkan beliau agar
waspada supaya tidak menyimpang sedikit pun dari hukum
Allah Subhanahu wa
Ta'ala.
Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman :
"Dan kami telah
turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai
penghapus kitab-kitab tersebut; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (Al-Maaidah 5:48)
e. Sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah melarang kaum muslimin untuk mengambil hukum dari
selain Syari'at Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
(Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka
perselisihkan." (An-Nisaa' 4:65)
"Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih." (An-Nuur 24:63)
"Mereka hendak
berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari (kufur
terhadap) thaghut itu." (An-Nisaa' 4:60)
Selain itu Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda :
"Setiap perbuatan
yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak." (HR.
Muslim)
Nash-nash syara' di
atas menunjukkan dengan jelas mengenai kewajiban untuk terikat dengan seluruh
hukum yang dibawa Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk kita. Maka kita
tidak boleh menghalalkan sesuatu kecuali apa yang telah dihalalkan Allah, dan
tidak boleh mengharamkan sesuatu kecuali apa yang telah diharamkan Allah.
Begitu pula apa yang tidak dibawa Rasul untuk kita, kita tidak boleh
mengambil-nya, dan apa yang tidak beliau haramkan atas kita, kita tidak boleh
mengharamkannya.
Jika kata "(apa
saja)" dalam firman-Nya : "Apa saja yang diberikan/diperintahkan
Rasul kepada kalian." dan, "dan apa saja yang dilarangnya bagi
kalian." dikaitkan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An-Nuur 24:63)
Maka, akan nampak
sangat jelas adanya kewajiban untuk mengambil apa yang dibawa Rasul saja, dan
bahwa mengambil (hukum) dari selain Rasul adalah dosa yang pelakunya akan
mendapatkan azab yang pedih. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mengakui
keimanan dari orang yang berhakim kepada selain Rasul dalam perbuatan-perbuatannya.
Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman :
"Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
(Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka
perselisihkan." (An-Nisaa' 4:65)
Hal ini menunjukkan
secara tegas mengenai pembatasan berhakim hanya pada apa yang dibawa Rasul
saja, apalagi Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memperingatkan Rasul-Nya untuk
waspada supaya tidak dipalingkan manusia dari sebagian apa yang diturunkan
Allah kepadanya.
Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman :
"Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka (ahli kitab), supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang diturunkan Allah kepadamu." (Al-
Maaidah 5:49)
Di samping itu,
Al-Quran telah mencela orang-orang yang hendak berhakim kepada hukum yang tidak
dibawa Rasul, yakni hendak kepada hukum-hukum kufur. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman :
"Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak
berhakim kepada thaghut (hukum dan undang- undang kufur), padahal mereka telah
diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (An-Nisaa' 4:60)
Hal ini menunjukkan
bahwa berhakim kepada hukum yang tidak dibawa Rasul adalah suatu kesesatan,
sebab tindakan ini berarti berhakim kepada thaghut, yakni kekufuran. Padahal
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kaum muslimin untuk mengingkari thaghut
itu.
Berdasarkan penjelasan
sebelumnya, maka kaum muslimin tidak boleh mengambil peradaban/kultur Barat,
beserta segala peraturan dan undang-undang yang terlahir darinya. Sebab,
peradaban tersebut bertentangan dengan peradaban Islam. Kecuali peraturan dan
undang-undang administratif yang bersifat mubah dan boleh diambil, sebagaimana
Umar bin Khaththab telah mengambil peraturan administrasi perkantoran dari
Persia dan Romawi.
Peradaban Barat berdiri
di atas aqidah pemisahan agama dari kehidupan, serta pemisahan agama dari
negara. Sementara peradaban Islam berlandaskan pada Aqidah Islamiyah, yang
telah mewajibkan pelaksanaan kehidupan bernegara berdasarkan perintah dan
larangan Allah, yakni hukum-hukum syara'.
Peradaban Barat berdiri
di atas asas manfaat (oportunity), dan menjadikannya sebagai tolok ukur bagi
seluruh perbuatan. Dengan demikian, peradaban Barat adalah peradaban yang hanya
mempertimbangkan nilai manfaat saja, serta tidak memperhitungkan nilai apa pun
selain nilai manfaat yang bersifat materialistik. Karena itu, dalam peradaban
Barat tidak akan dijumpai nilai kerohanian, nilai akhlak, dan nilai
kemanusiaan. Sementara itu peradaban Islam berdiri di atas landasan rohani
(spiritual), yakni iman kepada Allah, dan menjadikan prinsip halal-haram sebagai
tolok ukur seluruh perbuatan manusia dalam kehidupan, serta mengendalikan
seluruh aktivitas dan nilai berdasarkan perintah dan larangan Allah.
Peradaban Barat
menganggap kebahagiaan adalah memberikan kenikmatan jasmani yang
sebesar-besarnya kepada manusia dan segala sarana untuk memperolehnya.
Sementara itu peradaban Islam menganggap kebahagiaan adalah diraihnya ridla
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Peradaban tersebut mengatur pemenuhan kebutuhan
naluri dan jasmani manusia berdasarkan hukum-hukum syara'.
Atas dasar itulah, maka
kaum muslimin tidak boleh mengambil sistem pemerintahan Demokrasi, sistem
ekonomi Kapitalisme, dan sistem kebebasan individu yang ada di negara-negara
Barat. Dengan demikian, kaum muslimin tidak boleh mengambil konstitusi dan undang-undang
Demokrasi, sistem pemerintahan kerajaan dan Republik, bank-bank ribawi, dan
sistem bursa dan pasar uang internasional. Kaum muslimin tidak boleh mengambil
semua peraturan ini karena semuanya merupakan peraturan dan undang-undang kufur
yang sangat bertentangan dengan hukum dan peraturan Islam.
Sebagaimana tidak boleh
mengambil peradaban Barat beserta segenap ide dan peraturan yang terlahir
darinya, maka kaum muslimin juga tidak boleh mengambil peradaban/kultur
Komunisme. Sebab, peradaban ini juga bertentangan dengan peradaban Islam secara
menyeluruh.
Peradaban Komunisme
berdiri di atas suatu aqidah yaitu bahwa tidak ada pencipta terhadap alam
semesta ini, dan bahwa materilah yang menjadi asal usul segala benda. Seluruh
benda di alam semesta ini dianggapnya berasal dari materi melalui jalan evolusi
materi.
Sedangkan peradaban
Islam berdiri di atas prinsip bahwa Allah sajalah yang menjadi pencipta alam
semesta ini, dan bahwa seluruh benda yang ada di alam semesta merupakan makhluk
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah telah mengutus para nabi dan rasul dengan
membawa agama-Nya kepada umat manusia dan mewajibkan mereka untuk mengikuti
perintah dan larangan-Nya yang telah diturunkan kepada mereka.
Peradaban Komunisme
menganggap bahwa peraturan hanya diambil dari alat-alat produksi. Masyarakat
feodal menggunakan kapak sebagai alat produksinya, maka dari alat tersebut
diambil peraturan feodalisme. Dan jika masyarakat itu berkembang menjadi
masyarakat Kapitalisme, maka mesin menjadi alat produksi, dan dari alat ini
diambil peraturan Kapitalisme. Jadi peraturan Komunisme diambil dari evolusi
materi. Sedangkan peradaban Islam, menganggap bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia untuk dilaksanakan dalam
hidupnya, dan mengutus Sayyidina Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk
membawa peraturan ini, dan Rasul telah menyampaikan peraturan tersebut kepada
manusia, dan mewajibkan mereka untuk melaksanakannya.
Peradaban Komunisme
memandang bahwa peraturan materi adalah tolok ukur dalam kehidupan. Dengan
berkembangnya peraturan materi tersebut, maka berkembanglah tolok ukur dalam
kehidupan.
Sementara itu peradaban
Islam memandang halal-haram — yakni perintah dan larangan Allah — sebagai tolok
ukur perbuatan dalam kehidupan. Yang halal dikerjakan, dan yang haram
ditinggalkan. Dan bahwasanya hukum-hukum ini tidak akan berevolusi dan atau
berubah. Prinsip halal-haram ini juga tidak akan ditetapkan berdasarkan asas
manfaat ataupun materialisme, malinkan ditetapkan atas dasar syara' semata. Dari
sinilah jelas terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara peradaban
Komunisme dan peradaban Islam. Dengan demikian, kaum muslimin tidak boleh
mengambil peradaban Komunisme beserta segala ide dan peraturan yang berasal
darinya.
Karenanya, kaum muslimin
tidak boleh mengambil ide evolusi materi, ide penghapusan kepemilikan individu,
penghapusan kepemilikian pabrik dan alat produksi, dan penghapusan kepemilikan
tanah bagi individu. Begitu pula kaum muslimin tidak boleh mengambil ide
mempertuhankan manusia, ide menyembah manusia, dan seluruh ide atau peraturan
dari peradaban yang Atheistik ini. Sebab, semuanya adalah ide dan peraturan
kufur yang bertentangan dengan Aqidah Islam serta ide-ide dan hukum-hukum
Islam.
Sekarang kami akan
menjelaskan pertentangan total antara Demokrasi dengan Islam dari segi sumber
kemunculannya, aqidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya, serta ide dan
peraturan yang dibawanya.
Sumber kemunculan
Demokrasi adalah manusia. Dalam Demokrasi, yang menjadi pemutus (al-haakim) untuk
memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan
perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus Demokrasi adalah para
filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan
sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan
demikian, jelas bahwa Demokrasi adalah buatan manusia, dan bahwa pemutus segala
sesuatu adalah akal manusia.
Sedangkan Islam sangat
bertolak belakang dengan Demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang
telah diwahyukan-Nya kepada rasul-Nya Muhammad bin Abdullah Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanya berupa
wahyu yang diwahyukan." (An-Najm 53: 3-4)
"Sesungguhnya Kami
telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan." (Al- Qadr 97:1)
Yang menjadi pemutus
dalam Islam, yaitu yang memberikan penilaian terpuji dan tercelanya benda dan
perbuatan manusia, adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala, atau syara', bukannya
akal. Aktivitas akal terbatas hanya untuk memahami nash-nash yang berkenaan
dengan hukum yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
"Menetapkan hukum
itu hanyalah hak Allah." (Al-An'aam 6:57)
"Kemudian jika
kamu (rakyat dan negara) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
dia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunahnya)." (An-Nisaa' 4:59)
"Tentang apapun
kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah." (Asy- Syuuraa
26:10)
Adapun aqidah yang
melahirkan ide Demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan
negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah
(kompromi) antara para rohaniwan Kristen — yang diperalat oleh para raja dan kaisar
dan dijadikan tunggangan untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat, menghisap
darah mereka atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di
bawah peraturan agama — dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari
eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.
Aqidah ini tidak
mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur
kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan
kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri. Aqidah
inilah yang menjadi landasan pemikiran (Qaidah Fikriyah) ide-ide Barat. Dari
aqidah ini lahir peraturan hidupnya dan atas asas dasar aqidah ini Barat
menentukan orientasi pemikirannya dan pandangan hidupnya. Dari aqidah ini pula
lahir ide Demokrasi.
Sedangkan Islam,
sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di atas
landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan
Allah — yakni hukum-hukum syara' yang lahir dari Aqidah Islamiyah — dalam
seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia
tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban
menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta'ala
untuk manusia.
Aqidah Islamiyah inilah
yang menjadi asas peradaban/kultur dan pandangan hidup Islam. Mengenai ide yang melandasi Demokrasi,
sesungguhnya terdapat dua ide yang pokok :
Pertama, kedaulatan di
tangan rakyat. Kedua, rakyat sebagai sumber kekuasaan. Demokrasi menetapkan
bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan
kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri. Berdasarkan prinsip
bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak, maka
rakyat berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak
rakyat dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum
melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil
rakyat. Rakyat berhak menetapkan konstitusi, peraturan, dan undang-undang apa
pun. Rakyat berhak pula membatalkan konstitusi, peraturan, dan hukum apa pun,
menurut pertimbangan mereka berdasarkan kemaslahatan yang ada. Dengan demikian
rakyat berhak mengubah sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi Republik atau
sebaliknya, sebagaimana rakyat juga berhak mengubah sistem Republik Presidentil
menjadi Republik Parlementer atau sebaliknya. Hal ini pernah terjadi, misalnya
di Perancis, Italia, Spanyol, Yunani, di mana rakyatnya telah mengubah sistem
pemerintahan yang ada dari kerajaan menjadi Republik dan dari Republik menjadi
kerajaan. Demikian pula rakyat berhak mengubah sistem ekonomi dari Kapitalisme
menjadi Sosialisme atau sebaliknya. Dan rakyat pun melalui para wakilnya
dianggap berhak menetapkan hukum mengenai bolehnya murtad dari satu agama
kepada agama lain, atau kepada keyakinan yang non-agama (animisme/paganisme),
sebagaimana rakyat dianggap berhak menetapkan hukum bolehnya zina, homoseksual,
serta mencari nafkah dengan jalan zina dan homoseksual itu.
Berdasarkan prinsip
bahwa rakyat sebagai sumber kekuasaan, maka rakyat dapat memilih penguasa yang
diinginkannya untuk menerapkan peraturan yang dibuat rakyat dan untuk
memutuskan perkara berdasarkan hukum itu. Rakyat juga berhak memberhentikan
penguasa dan menggantinya dengan penguasa lain. Jadi, rakyatlah yang memiliki
kekuasaan, sedang penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat.
Sementara itu, Islam
menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara', bukan di tangan umat.
Sebab, Allah Subhanahu wa Ta'ala sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri'
(pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun
hanya satu hukum. Kalau sekiranya seluruh umat Islam berkumpul lalu menyepakati
bolehnya riba untuk meningkatkan kondisi perekonomian, atau menyepakati
bolehnya lokalisasi perzinaan dengan dalih agar zina tidak menyebar luas di
tengah masyarakat, atau menyepakati penghapusan kepemilikan individu, atau
menyepakati penghapusan puasa Ramadlan agar dapat meningkatkan produktivitas
kerja, atau menyepakati pengadopsian ide kebebasan individu yang memberikan
kebebasan kepada seorang muslim untuk meyakini aqidah apa saja yang
diinginkannya, dan yang memberikan hak kepadanya untuk mengembangkan hartanya
dengan segala cara meskipun haram, yang memberikan kebebasan berperilaku
kepadanya untuk menikmati hidup sesuka hatinya seperti menenggak khamr dan
berzina; maka seluruh kesepakatan ini tidak ada nilainya sama sekali. Bahkan
dalam pandangan Islam seluruh kesepakatan itu tidak senilai walaupun dengan
sebuah sayap nyamuk.
Jika ada sekelompok
kaum muslimin yang menyepakati hal-hal tersebut, maka mereka wajib diperangi
sampai mereka melepaskan diri dari kesepakatan tersebut. Yang demikian itu
karena kaum muslimin dalam seluruh aktivitas hidup mereka senantiasa wajib
terikat dengan perintah dan larangan Allah. Mereka tidak boleh melakukan suatu
perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam, sebagaimana mereka tidak
boleh membuat satu hukum pun, dikarenakan memang hanya Allah saja yang layak
bertindak sebagai Musyarri'.
Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman :
"Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
(Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan."
(An-Nisaa' 4:65)
"Menetapkan hukum
itu hanyalah hak Allah." (Al-An'aam 6:57)
"Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu (Al-Quran) dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ?
Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah
mengingkari thaghut itu." (An-Nisaa' 4:60)
Berhakim kepada thaghut
artinya berhakim kepada hukum yang tidak diturunkan Allah. Atau dengan kata
lain, berhakim kepada hukum-hukum kufur yang dibuat manusia.
Dan Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman :
"Apakah hukum
jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin." (Al-Maaidah 5:50)
Hukum Jahiliyah adalah
hukum yang tidak dibawa Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dari Tuhannya.
Yaitu hukum kufur yang dibuat oleh manusia.
Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman juga :
"Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih." (An-Nuur 24:63).
Yang dimaksud menyalahi
perintah Rasul — sesuatu yang harus diwaspadai itu — adalah mengikuti hukum
yang dibuat manusia dan meninggalkan hukum yang dibawa Nabi Muhammad
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Rasululah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda :
"Siapa saja yang
melakukan perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu
tertolak." (HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan
kata "amruna" (perintah kami) dalam hadits di atas adalah Islam.
Masih ada puluhan ayat
dan hadits lain dengan pengertian yang qath'i (pasti), yang menegaskan bahwa
kedaulatan adalah di tangan syara', yakni bahwa Allah sajalah yang menjadi
Musyarri', bahwa manusia tidak boleh membuat hukum, serta bahwa mereka wajib
untuk melaksanakan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan ini sesuai dengan
perintah dan larangan Allah.
Islam telah menetapkan
bahwa pelaksanaan perintah dan larangan Allah itu ada di tangan kaum muslimin,
sementara pelaksanaan perintah dan larangan Allah tersebut membutuhkan suatu
kekuasaan untuk melaksanakannya. Karena itu, Islam menetapkan bahwa kekuasaan
itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih
penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan
Allah atas umat. Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai'at, yang
menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan
bai'at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya.
Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda :
"Dan siapa saja
yang mati sedang di lehernya tidak terdapat bai'at (kepada Khalifah), berarti
dia telah mati jahiliyah."(HR. Muslim)
Diriwayatkan dari
Abdullah bin Amr ra, bahwa dia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Siapa saja yang membai'at seorang
imam (Khalifah) dan memberikan kepadanya genggaman tangan dan buah hatinya
(bertekad janji), maka hendaklah dia mentaatinya sekuat kemampuannya. Dan jika
ada orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka penggalllah batang
lehernya." (HR. Muslim)
Dari Ubadah bin Ash
Shamit ra, dia mengatakan: "Kami telah membai'at Nabi Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam untuk mendengar dan mentaatinya baik dalam hal yang dibenci maupun
yang disukai."
Di samping itu masih
banyak hadits lain yang menerangkan bahwa umatlah yang mengangkat penguasa
dengan jalan bai'at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya.
Meskipun syara' telah
menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat — yang diwakilkan kepada
seorang Khalifah untuk memerintah umat melalui prosesi bai'at — akan tetapi
syara' tidak memberikan hak kepada umat untuk memberhentikan penguasa, seperti
yang ada dalam sistem Demokrasi. Ketentuan ini didasarkan pada hadits-hadits
yang mewajibkan taat kepada Khalifah meskipun dia berbuat zhalim, selama dia
tidak memerintahkan maksiat.
Dari Ibnu Abbas ra, dia
berkata, "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: 'Siapa saja
yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dia benci, maka hendaklah dia
bersabar. Karena sesungguhnya siapa saja yang memisahkan diri dari jamaah walau
sejengkal lalu mati, maka dia mati jahiliyah."
Dari 'Auf bin Malik ra,
dia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam bersabda : '...sejahat-jahat pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian
benci sedang mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka sedang mereka
pun melaknat kalian. 'Auf bin Malik lalu berkata,"Kami lalu bertanya,
'Wahai Rasulullah, apakah tidak kita perangi saja mereka pada saat itu ?"
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab: "Tidak, selama mereka
masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian, kecuali bila seseorang — yang
menjadi rakyat seorang penguasa — menyaksikan penguasa itu mengerjakan
perbuatan ma'shiat. Maka hendaklah dia membenci kemaksiatan yang dilakukan
penguasa tersebut, tetapi sekali-kali dia tidak boleh melepaskan ketaatan
kepadanya."
Yang dimaksud dengan
"mendirikan shalat" dalam hadits di atas ialah "melaksanakan
hukum-hukum Islam". Karena ungkapan tersebut merupakan ungkapan majazi
(kiasan), yakni menyebut sebagian tetapi yang dimaksud adalah keseluruhannya.
Demikian pula umat tidak boleh memberontak terhadap penguasa kecuali jika dia
menampakkan kekufuran yang terang-terangan, sebagaimana hadits Ubadah bin Ash
Shamit mengenai bai'at. Dalam hadits itu terdapat keterangan : "...Maka
kami membai'at beliau (Rasul). Rasulullah menjelaskan apa-apa yang harus kami
lakukan, yakni bahwa kami membai'at beliau untuk mendengar dan mentaatinya,
dalam apa yang kami sukai dan apa yang kami benci, dalam apa yang sukar dan
yang mudah bagi kami, serta untuk tidak lebih mengutamakan diri (daripada orang
lain). Dan kami juga tidak akan merebut kekuasaan dari yang berhak, kecuali
(Rasulullah mengatakan)', jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, yang
kalian mempunyai bukti yang kuat tentangnya dari sisi Allah."
Yang mempunyai wewenang
memberhentikan Khalifah adalah Mahkamah Mazhalim. Ini dikarenakan bahwa
terjadinya suatu kasus yang dapat menjadi alasan diberhentikannya Khalifah,
merupakan suatu jenis kezhaliman yang harus dilenyapkan. Dan kasus itu juga
dianggap sebagai kasus yang memerlukan penetapan (itsbat) yang harus dilakukan
di hadapan hakim. Mengingat Mahkamah Mazhalim merupakan lembaga yang berwenang
memutuskan pelenyapan kezhaliman dalam Daulah Islamiyah, sementara hakimnya memang
berwenang untuk menetapkan terjadinya kezhaliman dan memutuskannya, maka
Mahkamah Mazhalimlah yang berhak memutuskan apakah kasus kezhaliman di atas
telah terjadi atau tidak. Mahkamah Mazhalim pula yang berhak memutuskan
pemberhentian Khalifah.
Demokrasi dapat
dianggap sebagai pemerintahan mayoritas dan hukum mayoritas. Karenanya
pemilihan para penguasa, anggota dewan perwakilan, serta anggota berbagai
lembaga, kekuasaan, dan organisasi, semuanya didasarkan pertimbangan suara
bulat (mayoritas). Demikian juga pembuatan hukum di dewan perwakilan,
pengambilan keputusan di berbagai dewan, kekuasaan, lembaga, dan organisasi,
seluruhnya dilaksanakan berdasarkan pendapat mayoritas.
Oleh karena itu, dalam
sistem Demokrasi pendapat mayoritas bersifat mengikat bagi semua pihak, baik
penguasa maupun bukan. Sebab pendapat mayoritas merupakan sesuatu yang
mengungkapkan kehendak rakyat. Jadi pihak minoritas tidak mempunyai pilihan
kecuali tunduk dan mengikuti pendapat mayoritas.
Sedangkan dalam Islam,
permasalahannya sangatlah berbeda. Dalam masalah penentuan hukum, kriterianya
tidak tergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada
nash-nash syara'. Sebab, yang menjadi Musyarri' hanyalah Allah Subhanahu wa
Ta'ala, bukan umat.
Adapun pihak yang
mempunyai kewenangan untuk mengadopsi (melakukan proses legislasi) hukum-hukum
syara' yang menjadi keharusan untuk memelihara urusan umat dan menjalankan roda
pemerintahan, adalah Khalifah saja. Khalifah mengambil hukum syara' dari
nash-nash syara' dalam Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya, berdasarkan kriteria
kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar. Dalam hal ini Khalifah tidak
wajib meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum yang akan
dilegalisasikannya, meskipun hal ini boleh saja dia lakukan. Para Khulafa'
Rasyidin dahulu telah meminta pendapat para shahabat ketika mereka hendak
mengadopsi suatu hukum syara', misalnya Umar bin Khaththab pernah meminta
pendapat kaum muslimin tatkala dia hendak mengadopsi hukum syara' mengenai
masalah tanah-tanah taklukan di Syam, Mesir, dan Irak. Umar bin Khaththab telah
meminta pendapat kaum muslimin dalam masalah tersebut.
Jika Khalifah meminta
pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum syara' yang hendak diadopsinya, maka
pendapat Majelis Umat ini tidak mengikat Khalifah, meskipun pendapat itu
diputuskan berdasarkan suara bulat atau suara mayoritas. Yang demikian ini
karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah mengesampingkan pendapat
kaum muslimin yang menolak penetapan Perjanjian Hudaibiyah. Padahal pendapat
kaum muslimin waktu itu merupakan pendapat mayoritas. Tetapi toh Rasulullah
menolak pendapat mereka, dan tetap menyepakati Perjanjian Hudaibiyah.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda kepada mereka :
"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan sekali-kali
aku tidak akan menyalahi perintah-Nya." Selain itu para shahabat yang
mulia telah bersepakat bahwa seorang Imam (Khalifah) memang berhak untuk
mengadopsi hukum-hukum syara' tertentu, serta berhak memerintahkan rakyat untuk
mengamalkannya. Kaum muslimin wajib mentaatinya dan meninggalkan pendapat
mereka. Dari adanya Ijma' Shahabat inilah di-istimbath (diambil dan ditetapkan)
kaidah-kaidah syara' yang terkenal :
"Perintah
(keputusan) Imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat."
"Perintah
(keputusan) Imam wajib dilaksanakan, baik secara lahir maupun batin."
"Penguasa
(Khalifah) berhak mengeluarkan keputusan-keputusan (hukum) baru, sesuai
perkembangan problem yang terjadi."
Di samping itu, Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri,
sebagaimana firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul-(Nya) dan Ulil Amri di antara kamu."
Yang dimaksud dengan
ulil amri dalam ayat di atas adalah para penguasa muslim yang menerapkan hukum
Islam. Adapun masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang
membutuhkan keahlian, pemikiran, dan pertimbangan yang mendalam, maka yang
dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya. Bukan berdasarkan suara
mayoritas atau minoritas. Jadi masalah yang ada harus dikembalikan kepada para
ahlinya. Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan tepat.
Masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar militer.
Masalah-masalah fiqih dikembalikan kepada para fuqaha dan mujtahidin.
Masalah-masalah medis dikembalikan kepada para dokter spesialis.
Masalah-masalah teknik dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik.
Masalah-masalah ide/gagasan dikembalikan kepada para pemikir besar. Demikian
seterusnya. Dengan demikian yang menjadi patokan dalam masalah-masalah seperti
ini adalah ketepatan, bukan suara mayoritas. Dan pendapat yang tepat diambil
dari pihak yang berkompeten, yaitu para ahlinya, bukan berdasarkan suara
mayoritas.
Yang patut dicatat,
bahwa para anggota Majlis Perwakilan Rakyat (parlemen) baik yang ada di
negeri-negeri Islam maupun di Barat saat ini, sebagian besarnya bukanlah orang
yang berkeahlian, dan bukan pula orang yang mampu memahami setiap permasalahan
secara tepat. Sehingga suara mayoritas anggota lembaga perwakilan yang ada
sebenarnya tidak ada faedahnya dan bahkan tidak ada nilainya sama sekali.
Persetujuan atau penentangan mereka di dalam sidang majlis hanya berupa
formalitas belaka, tidak didasarkan pada pemahaman, kesadaran, atau pengetahuan
yang tepat. Oleh karena itu, dalam masalah-masalah yang memerlukan keahlian
seperti tersebut di atas, suara mayoritas tidaklah bersifat mengikat.
Dalil untuk ketentuan
ini adalah peristiwa ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengikuti
pendapat Al Hubab bin Al Mundzir pada Perang Badar — yang saat itu merupakan
pakar dalam hal tempat-tempat strategis — yang mengusulkan kepada Nabi agar
meninggalkan tempat yang dipilih Nabi, kalau sekiranya ketentuan tempat itu
bukan dari wahyu. Al Hubab memandang tempat tersebut tidak layak untuk
kepentingan pertempuran. Maka Rasulullah mengikuti pendapat Al Hubab dan
berpindah ke suatu tempat yang ditunjukkan oleh Al Hubab. Jadi Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak
meminta pertimbangan kepada para shahabat lainnya dalam masalah tersebut.
Adapun masalah-masalah
yang langsung menuju kepada amal (praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan
pertimbangan mendalam, maka yang menjadi patokan adalah suara mayoritas, sebab
mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya dengan mudah
menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Masalah-masalah seperti ini
contohnya, apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atau
ketua organisasi misalnya, pen.), apakah kita akan keluar kota atau tidak,
apakah kita akan menempuh perjalanan pada pagi hari atau malam hari, apakah
kita akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api. Masalah-masalah
seperti ini dapat dimengerti oleh setiap orang sehingga mereka dapat memberikan
pendapatnya. Oleh karena itu, dalam masalah-masalah seperti ini suara mayoritas
dapat dijadikan pedoman dan bersifat mengikat. Dalil untuk ketentuan tersebut
adalah peristiwa yang terjadi pada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
ketika Perang Uhud. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para shahabat
senior berpendapat bahwa kaum muslimin tidak perlu keluar dari kota Madinah.
Sedang mayoritas shahabat — khususnya para pemudanya — berpendapat bahwa kaum
muslimin hendaknya keluar dari kota Madinah guna menghadapi kaum Quraisy di
luar kota Madinah. Jadi pendapat yang ada berkisar di antara dua pilihan,
keluar kota Madinah atau tidak. Dikarenakan mayoritas shahabat berpendapat
untuk keluar kota Madinah, maka Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengikuti
pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para shahabat senior, serta berangkat
menuju Uhud di luar kota Madinah untuk menghadapi pasukan Quraisy.
***
Adapun ide kebebasan
individu, sesungguhnya merupakan salah satu ide yang paling menonjol dalam
Demokrasi. Ide ini dianggap sebagai salah satu pilar penting dalam Demokrasi,
sebab dengan ide ini tiap-tiap individu akan dapat melaksanakan dan menjalankan
kehendaknya seperti yang diinginkannya tanpa tekanan atau paksaan. Rakyat
dianggap tidak akan dapat mengekspresikan kehendak umumnya kecuali dengan
terpenuhinya kebebasan individu bagi seluruh rakyat. Kebebasan individu
merupakan suatu ajaran suci dalam sistem Demokrasi, sehingga baik negara maupun
individu tidak dibenarkan melanggarnya. Sistem Demokrasi kapitalis menganggap
bahwa adanya peraturan yang bersifat individualistik, serta pemeliharaan dan
penjagaan terhadap kebebasan individu, merupakan salah satu tugas utama negara.
Kebebasan individu yang dibawa Demokrasi tidak dapat diartikan sebagai
pembebasan bangsa-bangsa terjajah dari negara-negara penjajahnya yang telah
mengeksploitir dan merampas kekayaan alamnya. Sebabnya karena ide penjajahan
tiada lain adalah salah satu buah dari ide kebebasan kepemilikan, yang justru
dibawa oleh Demokrasi itu sendiri. Demikian pula kebebasan individu tidak
berarti pembebasan dari perbudakan, sebab budak saat ini sudah tidak ada lagi.
Yang dimaksud dengan
kebebasan individu tiada lain adalah empat macam kebebasan berikut ini :
Kebebasan beragama.
Kebebasan berpendapat.
Kebebasan kepemilikan.
Kebebasan bertingkah
laku.
Keempat macam kebebasan
ini tidak ada dalam kamus Islam, sebab seorang muslim wajib mengikatkan diri
dengan hukum syara' dalam seluruh perbuatannya. Seorang muslim tidak dibenarkan
berbuat sekehendaknya. Dalam Islam tidak ada yang namanya kebebasan kecuali
kebebasan budak dari perbudakan, sedang perbudakan itu sendiri sudah lenyap
sejak lama. Keempat macam kebebasan tersebut sangat bertentangan dengan Islam
dalam segala aspeknya sebagaimana penjelasan kami berikutnya.
***
Kebebasan beragama
berarti seseorang berhak meyakini suatu aqidah yang dikehendakinya, atau
memeluk agama yang disenanginya, tanpa tekanan atau paksaan. Dia berhak pula
meninggalkan aqidah dan agamanya, atau berpindah kepada aqidah baru, agama
baru, atau berpindah kepada kepercayaan non-agama (Animisme/paganisme). Dia
berhak pula melakukan semua itu sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan atau paksaan.
Jadi, seorang Muslim, misalnya, berhak berganti agama untuk memeluk agama
Kristen, Yahudi, Budha, atau Komunisme dengan sebebas-bebasnya, tanpa boleh ada
larangan baginya dari negara atau pihak lain untuk mengerjakan semua itu.
Sedangkan Islam, telah mengharamkan
seorang muslim meninggalkan Aqidah Islamiyah atau murtad untuk memeluk agama
Yahudi, Kristen, Budha, Komunisme, atau Kapitalisme. Siapa saja yang murtad dari agama Islam maka
dia akan diminta bertaubat. Jika dia kembali kepada Islam, itulah yang
diharapkan. Tapi kalau tidak, dia akan dijatuhi hukuman mati, disita hartanya,
dan diceraikan dari isterinya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda:
"Barang siapa
mengganti agamanya (Islam), maka jatuhkanlah hukuman mati atasnya." (HR.
Muslim, dan Ashhabus Sunan)
Jika yang murtad adalah
sekelompok orang, dan mereka tetap bersikeras untuk murtad, maka mereka akan
diperangi hingga mereka kembali kepada Islam atau dibinasakan. Hal ini seperti
yang pernah terjadi pada orang-orang murtad setelah wafatnya Rasulullah tatkala
Abu Bakar memerangi mereka dengan sengit sampai sebagian orang yang tidak
terbunuh kembali kepada Islam.
***
Adapun kebebasan
berpendapat dalam sistem Demokrasi, mempunyai arti bahwa setiap individu berhak
untuk mengembangkan pendapat atau ide apa pun, bagaimana pun juga pendapat atau
ide itu. Dia berhak pula menyatakan atau menyerukan ide atau pendapat itu
dengan sebebas-bebasnya tanpa ada syarat atau batasan apapun, bagaimana pun
juga ide dan pendapatnya itu. Dia berhak pula mengungkapkan ide atau
pendapatnya itu dengan cara apapun, tanpa ada larangan baginya untuk melakukan
semua itu baik dari negara atau pihak lain, selama dia tidak mengganggu
kebebasan orang lain. Maka setiap larangan untuk mengembangkan, mengungkapkan,
dan menyebarluaskan pendapat, akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap
kebebasan.
Ketentuan ajaran Islam
dalam masalah ini sangatlah berbeda. Seorang muslim dalam seluruh perbuatan dan
perkataannya wajib terikat dengan apa yang terkandung dalamnash-nash syara'.
Dengan demikian dia tidak boleh melakukan suatu perbuatan atau mengucapkan
suatu perkataan kecuali jika dalil-dalil syar'i telah membolehkannya. Atas
dasar itulah, maka seorang muslim berhak mengembangkan, menyatakan, dan
menyerukan pendapat apapun, selama dalil-dalil syar'i telah membolehkannya.
Tapi jika dalil-dalil syar'i telah melarangnya, maka seorang muslim tidak boleh
mengembangkan, menyatakan, atau menyerukan pendapat tersebut. Jika dia tetap
melakukannya, dia akan dikenai sanksi.
Jadi seorang muslim itu
wajib terikat dengan hukum-hukum syara' dalam mengembangkan, menyatakan, dan
menyerukan suatu pendapat. Dia tidak bebas untuk melakukan semaunya. Islam
sendiri telah mewajibkan seorang muslim untuk mengucapkan kebenaran di setiap
waktu dan tempat. Dalam hadits Ubadah bin Ash Shamit ra, disebutkan :
"...dan kami akan
mengatakan kebenaran di mana pun kami berada. Kami tidak takut karena Allah
terhadap celaan orang yang mencela."
Demikian pula Islam
telah mewajibkan kaum muslimin untuk menyampaikan pendapat kepada penguasa dan
mengawasi serta mengoreksi tindakan mereka. Diriwayatkan dari Ummu 'Athiyah
dari Abu Sa'id ra, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Jihad paling
utama adalah (menyampaikan) perkataan yang haq kepada penguasa yang
zhalim."
Dirawayatkan pula dari
Abu Umamah ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah ditanya
oleh seseorang pada saat melempar jumrah aqabah, "Jihad apa yang paling
utama, wahai Rasulullah ? Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
menjawab :"Yaitu menyampaikan perkataan yang haq kepada penguasa yang
zhalim."
Rasululah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam pernah bersabda pula : "Pemimpin para syuhada adalah
Hamzah dan seseorang yang berdiri di hadapan Imam yang zhalim, kemudian dia
menasehati Imam itu, lalu Imam itu membunuhnya." Tindakan yng demikian ini
bukanlah suatu kebebasan berpendapat, melainkan keterikatan dengan hukum-hukum
syara', yakni kebolehan menyampaikan pendapat dalam satu keadaan, dan kewajiban
menyampaikan pendapat dalam keadaan lain.
***
Adapun kebebasan
kepemilikan — yang telah melahirkan sistem ekonomi Kapitalisme, yang
selanjutnya melahirkan ide penjajahan terhadap bangsa-bangsa di dunia serta
perampokan kekayaan alamnya — mempunyai arti bahwa seseorang boleh memiliki harta
(modal), dan boleh mengembangkannya dengan sarana dan cara apapun. Seorang
penguasa dianggap berhak memiliki harta dan mengembangkannya melalui
imperialisme, perampasan dan pencurian harta kekayaan alam dari bangsa-bangsa
yang dijajah. Seseorang dianggap pula berhak memiliki dan mengembangkan harta
melalui penimbunan dan mudlarabah (usaha-usaha komanditen/trustee) mengambil
riba, menyembunyikan cacat barang dagangan, berlaku curang dan menipu,
menetapkan harga tinggi secara tidak wajar, mencari uang dengan judi, zina,
homoseksual, mengeksploitir tubuh wanita, memproduksi dan menjual khamr,
menyuap, dan atau menempuh cara-cara lainnya.
Sedangkan ajaran Islam,
sangat bertolak belakang dengan ide kebebasan kepemilikan harta tersebut. Islam
telah memerangi ide penjajahan bangsa-bangsa serta ide perampokan dan
penguasaan kekayaan alam bangsa-bangsa di dunia. Islam juga menentang praktik
riba baik yang berlipat ganda maupun yang sedikit. Seluruh macam riba dilarang.
Di samping itu Islam telah menetapkan adanya sebab-sebab kepemilikan harta,
sebab-sebab pengembangannya, dan cara-cara pengelolaannya. Islam mengharamkan
ketentuan di luar itu semua. Islam mewajibkan seorang muslim untuk terikat
dengan hukum-hukum syara' dalam usahanya untuk memiliki, mengembangkan, dan
mengelola harta. Islam tidak memberikan kebebasan kepadanya untuk mengelola
harta sekehendak-nya, tetapi Islam telah mengikatnya dengan hukum-hukum syara',
dan mengharamkannya untuk memiliki dan mengembangkan harta secara batil.
Misalnya dengan cara merampas, merampok, mencuri, menyuap, mengambil riba,
berjudi, berzina, berhomoseksual, menutup-nutupi kecacatan barang dagangan,
berlaku curang dan menipu, menetapkan harga tinggi dengan tidak wajar,
memproduksi dan menjual khamr, mengeksploitir tubuh wanita, dan cara-cara lain
yang telah diharamkan sebagai jalan untuk memiliki dan mengembangkan harta.
Semua itu merupakan
sebab-sebab pemilikan dan pengembangan harta yang dilarang Islam. Dan setiap
harta yang diperoleh melalui jalan-jalan itu, berarti haram dan tidak boleh
dimiliki. Pelakunya akan dijatuhi sanksi. Dengan demikian jelaslah bahwa
kebebasan kepemilikan harta itu tidak ada dalam ajaran Islam. Bahkan
sebaliknya, Islam mewajibkan setiap muslim untuk terikat dengan hukum-hukum
syara' dalam hal kepemilikan, pengembangan, dan pengelolaan harta. Dia tidak
boleh melanggar hukum-hukum itu.
***
Mengenai kebebasan
bertingkah laku, artinya adalah kebebasan untuk lepas dari segala macam ikatan
dan kebebasan untuk melepaskan diri dari setiap nilai kerohanian, akhlak, dan
kemanusiaan. Juga berarti kebebasan untuk memporak-porandakan keluarga dan
untuk membubarkan atau melestarikan institusi keluarga. Kebebasan ini merupakan
jenis kebebasan yang telah menimbulkan segala kebinasaan dan membolehkan segala
sesuatu yang telah diharamkan. Kebebasan inilah yang telah menjerumuskan
masyarakat Barat menjadi masyarakat binatang yang sangat memalukan dan
membejatkan moral individu-individunya sampai ke derajat yang lebih hina
daripada binatang ternak.
Kebebasan ini menetapkan
bahwa setiap orang dalam perilaku dan kehidupan pribadinya berhak untuk berbuat
apa saja sesuai dengan kehendaknya, sebebas-bebasnya, tanpa boleh ada larangan
baik dari negara atau pihak lain terhadap perilaku yang disukainya. Ide
kebebasan ini telah membolehkan seseorang untuk melakukan perzinaan,
homoseksual, lesbianisme, meminum khamr, bertelanjang, dan melakukan perbuatan
apa saja — walaupun sangat hina — dengan sebebas-bebasnya tanpa ada ikatan atau
batasan, tanpa tekanan atau paksaan. Hukum-hukum Islam sangat bertentangan
dengan kebebasan bertingkah laku tersebut. Tidak ada kebebasan bertingkah laku
dalam Islam. Seorang muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah
dalam seluruh perbuatan dan tingkah lakunya. Haram baginya melakukan perbuatan
yang diharamkan Allah. Jika dia mengerjakan suatu perbuatan yang diharamkan,
berarti dia telah berdosa dan akan dijatuhi hukuman yang sangat keras.
Islam telah
mengharamkan perzinaan, homoseksual, lesbianisme, minuman keras, ketelanjangan,
dan hal-hal lain yang merusak. Untuk masing-masing perbuatan itu Islam telah
menetapkan sanksi tegas yang dapat membuat jera pelakunya. Islam memerintahkan
muslim berakhlaq mulia dan terpuji, juga menjadikan masyarakat Islam sebagai
masyarakat yang bersih dan sangat memelihara kehormatannya serta penuh dengan
nilai-nilai yang mulia.
***
Dari seluruh penjelasan
di atas, nampak dengan sangat jelas bahwa peradaban Barat, nilai-nilai Barat,
pandangan hidup Barat, Demokrasi Barat, dan kebebasan individu, seluruhnya
bertentangan secara total dengan hukum-hukum Islam.
Seluruhnya merupakan
ide-ide, peradaban, peraturan, dan undang-undang kufur. Oleh karenanya adalah
suatu kebodohan dan upaya penyesatan kalau ada yang mengatakan Demokrasi itu
adalah bagian dari ajaran Islam. Juga suatu kebodohan dan penyesatan kalau
dikatakan Demokrasi itu identik dengan sistem syura (permusyawaratan) itu
sendiri, atau identik dengan amar ma'ruf nahi munkar, dan atau mengoreksi
tingkah laku penguasa.
Syura, amar ma'ruf nahi
munkar, dan mengoreksi penguasa, adalah hukum-hukum syara', yang telah
ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kaum muslimin telah diperintahkan untuk
mengambil dan melaksanakannya dengan anggapan bahwa semua itu adalah
hukum-hukum syara'.
Sedangkan Demokrasi
bukanlah hukum-hukum syara' dan tidak berasal dari peraturan Allah. Demokrasi
adalah buatan manusia dan peraturan buatan manusia. Demokrasi bukan syura,
karena syura artinya adalah memberikan pendapat. Sedangkan Demokrasi,
sebenarnya merupakan suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh
konstitusi, undang-undang, dan peraturan, yang telah dibuat oleh manusia
menurut akal mereka sendiri. Mereka menetapkan ketentuan-ketentuan itu
berdasarkan kemaslahatan yang dipertimbangkan menurut akal, bukan menurut wahyu
dari langit.
Maka dari itu, kaum
muslimin haram mengambil dan menyebarluaskan Demokrasi serta mendirikan
partai-partai politik yang berasaskan Demokrasi. Haram pula bagi mereka
menjadikan Demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya; atau
menjadikannya sebagai asas bagi konstitusi dan undang-undang atau sebagai
sumber bagi konstitusi dan undang-undang; atau sebagai asas bagi sistem
pendidikan dan penentuan tujuannya.
Kaum muslim wajib
membuang Demokrasi sejauh-jauhnya karena Demokrasi adalah najis dan merupakan
hukum thaghut. Demokrasi adalah sistem kufur, yang mengandung berbagai ide,
peraturan, dan undang-undang kufur. Demokrasi tidak ada hubungannya dengan
Islam sama sekali.
Demikian pula kaum
muslimin wajib menerapkan dan melaksanakan seluruh ajaran Islam dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. "Dan siapa saja yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mu'min, Kami biarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya
itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali." (QS. An Nisaa' 4: 115)
Terkait: Tinjauan
Kekafiran Demokrasi
Sumber: axisahid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar