Sesungguhnya
orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud
memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan
mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap
sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil
jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir) merekalah orang-orang
yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang
kafir itu siksaan yang menghinakan. (TQS al-Nisa' [4]: 150-151).
Antara Mukmin dan kafir
sesungguhnya terdapat garis pemisah yang jelas. Garis batas itu adalah akidah
Islam. Siapa pun yang mengimaninya, tergolong sebagai Mukmin. Sebaliknya, siapa
pun yang mengingkarinya, terkategori sebagai kafir.
Kendati demikian, masih
ada orang yang ingin mencoba mengambil jalan tengah antara iman dengan kufur.
Caranya, dengan beriman terhadap sebagian perkara akidah dan ingkar terhadap
sebagian lainnya. Bagaimana kedudukan orang seperti ini? Dengan gamblang ayat
di atas memberikan jawabannya.
Mengaku
Sebagian
Allah SWT berfirman:
Inna al-ladzîna yakfurûna bil-Lâh wa rusulihi (sesungguhnya orang-orang yang
kafir kepada Allah dan rasu-rasul-Nya). Menurut sebagian besar mufassir seperti
Ibnu Jarir al-Thabari, al-Qurthubi, Ibnu Katsir, Fakhruddin al-Razi, al-Syaukani,
dll ayat ini turun berkenaan dengan kaum Yahudi dan Nasrani. Kaum Yahudi
meng-aku beriman kepada Nabi Musa dan Taurat, namun mengingkari Nabi Isa dan
Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kaum Nasrani mengaku beriman kepada Nabi Musa dan
Nabi Isa, namun mengingkari Nabi Muhammad SAW. Kendati mengaku beriman kepada
Allah SWT dan sebagian rasul-Nya, mereka semua dinyatakan ayat ini sebagai
orang-orang yang kafir kepada Allah SWT dan rasul-rasul-Nya
Perihal kekufuran
mereka itu dijelaskan lebih lanjut dalam frase sesudahnya: wa yurîdûna an
yufarriqû baynal-Lâh wa rusulihi (dan bermaksud memperbedakan antara [keimanan
kepada] Allah dan rasul-rasul-Nya). Sikap tafrîq (memperbedakan) antara Allah
SWT dan rasul-rasul-Nya itu dalam perkara akidah. Sehingga, sebagaimana dipaparkan
al-Alusi, maksud frase ini adalah mereka mengaku beriman kepada Allah SWT,
namun ingkar kepada sebagian rasul-Nya. Inilah bentuk tafrîq (memper-bedakan)
antara Allah dengan rasul-rasul-Nya.
Ditegaskan Imam
al-Qur-thubi, tindakan tersebut jelas merupakan kekufuran. Sebab, Allah SWT
telah mewajibkan manusia untuk beribadah kepa-da-Nya dengan syariah yang dibawa
rasul-Nya. Jika mereka mengingkari rasul, berarti mereka menolak dan tidak
menerima syariah darinya. Sebagai akibatnya, mustahil bagi mereka bisa terikat
dengan ubudiyyah yang diperintahkan kepada mereka. Di samping itu, sikap
tersebut juga merupakan pengingkaran terhadap pembuatnya, Allah SWT. Dan tentu
saja itu merupakan kekufuran.
Sikap tafrîq antara
Allah SWT dan rasul-rasul-Nya, mereka juga melakukan tafrîq terhadap perkara
akidah lainnya. Allah SWT berfirman: wa yaqûlûna nu'minu biba'dh[in] wa nakfuru
biba'dh[in] (dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan
kami kafir terhadap sebahagian [yang lain]"). Penggunaan kata ba'dh
(sebagian) tanpa disertai dengan perkaranya menunjukkan bahwa perkara yang
diimani dan diingkari bersifat mutlak, bisa semua perkara akidah.
Alasan yang melatari
sikap mereka lalu dijelaskan dalam frase berikutnya: Wa yurídûna an yattakhidzû
bayna dzâlika sa-bîl[an] (serta bermaksud [dengan perkataan itu] mengambil
jalan [tengah] di antara yang demikian [iman atau kafir]). Menurut Sihabuddin
al-Alusi, kata sabîl[an] di sini berarti tharîq (jalan) yang dilalui. Bisa juga
berarti dîn[an]. Dengan beriman sebagian, dan mengingkari sebagian lainnya itu,
mereka berkeinginan untuk mengambil jalan tengah antara keimanan dan kekufuran.
Keinginan mereka itu
jelas batil. Sebab, manusia hanya memiliki dua pilihan: iman atau kafir, haqq
(kebenaran) atau dhalâl (kesesatan). Tidak ada pilihan yang ketiga. Allah SWT
berfirman: Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan (TQS Yunus
[10]: 32).
Hakikatnya
Kafir
Status mereka lalu
ditegaskan dalam ayat berikutnya: Ulâika hum al-kâfirûna haqq[an] (merekalah
orang-orang yang kafir sebenar-benarnya). Secara tegas ayat ini menyebut mereka
sebagai orang kafir. Penegasan ini menunjukkan bahwa ingkar terhadap sebagian
perkara akidah, sama halnya dengan ingkar terhadap keseluruhan. Abdurrahman
al-Sa'di dalam tafsirnya berkata, “Siapa pun yang ingkar kepada seorang rasul,
sungguh dia telah ingkar kepada seluruh nabi. Bahkan termasuk rasul yang
diklaim dia imani.”
Ibnu Katsir juga
mengatakan bahwa siapa pun yang ingkar kepada seorang rasul, berarti dia telah
kafir terhadap seluruh nabi. Sebab, keimanan wajib terhadap semua nabi yang
diutus kepada manusia. Barangsiapa yang menolak kenabiannya karena iri dengki,
ashabiyyah, dan hawa nafsu, jelaslah bahwa imannya kepada nabi yang diimani
bukanlah iman yang syar'i. Imannya didasarkan kepada tendensi, hawa nafsu, dan
ashabiyyah.
Seandainya disebutkan
ulâika hum al-kâfirûna (merekalah adalah orang-orang kafir), sesungguhnya sudah
cukup untuk mendudukkan status mereka. Ditambahkannya kata haqq berfungsi
sebagai ta'kîd (penegasan) kekufuran mereka. Dinyatakan Imam al-Quthubi bahwa
penegasan itu untuk menghapus bayangan tentang keimanan mereka ketika mereka
menyebut diri mereka beriman terhadap sebahagian. Oleh karena itu, kata haqq --
sebagaimana diungkapkan Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya-- dimaknai dengan
al-kâmil (sempurna). Sehingga frase ini bermakna: Ulâika hum al-kâfirûna
kufr[an] kâmil[an] tsâbit[an] haqq[an] yaqîniniyy[an] (mereka adalah
orang-orang kafir dengan kekufuran yang sempurna, tetap, sebenarnya, dan meyakinkan).
Karena statusnya
terkategori sebagai orang kafir, maka mereka pun berhak mendapatkan hukuman
yang berat. Allah SWT berfirman: Wa a'tadnâ li al-kâfirîna adzâb[an] muhîn[an]
(dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang
menghinakan). Azab menghinakan itu diberikan kepada mereka di dunia dan akhirat
sebagaimana diberitakan dalam nash-nash lain.
Bertolak dari paparan
di atas, jelaslah jika seseorang ingin dikategorikan sebagai Mukmin, dia harus
mengimani akidah Islam secara keseluruhan, tanpa ada yang diingkari. Apabila
ada perkara akidah yang diingkari, semua maupun sebagian, maka dia terkategori
sebagai kafir.
Iman terhadap Alquran,
misalnya, harus bersifat total. Ayat yang mewajibkan hukuman jilid bagi pezina,
(QS al-Nur [24]: 2), potong tangan bagi pencuri (QS al-Maidah [5]: 38), dan
qishash bagi pembunuh (QS al-Baqarah [2]: 178), harus diimani sebagaiman ayat
yang memerintahkan shalat, zakat, (QS al-Baqarah [2]: 43), dan puasa (QS
al-Baqarah [2]: 183). Demikian juga dengan ayat yang mewajibkan jihad (QS
al-Baqarah [2[: 216), menerapkan hukum Allah (QS al-Maidah [5]: 49), dan
menaati ulil amri yang Muslim (QS al-Nisa' [4]: 59). Pengingkaran terhadap
salah satunya dapat menyebab-kan pelakunya jatuh kepada kekufuran dan hukuman
yang berat. Allah SWT berfirman: Apakah kamu beriman kepada sebahagian al-Kitab
dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang
berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehi-dupan dunia, dan
pada hari kia-mat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah
tidak lengah dari apa yang kamu perbuat (TQS al-Baqarah [2]: 85).
Dengan demikian,
seorang Mukmin harus menolak sekularisme. Dalam pandangan ideologi ini, agama
tidak boleh berperan mengatur pemerintahan, ekonomi, pendidikan, pidana, dan
urusan publik lainnya. Jika ideologi ini diyakini, maka ayat dan hadits yang
menjelaskan urusan publik akan ditolak, bahkan diingkari. Jika ini terjadi,
maka menyebabkan pelakunya akan jatuh kepada kekufuran. Masih ada yang
menginginkan ide kufur itu?
WalLâh a'lam bi
al-shawâb.
Oleh: Rokhmat S. Labib,
M.E.I. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar