Jumat, 01 Mei 2015

Keistimewaan Hukum Islam

Penyebab Kebobrokan

Sering kita bertanya, ada apa dengan negeri ini hingga sulit bagi penduduknya untuk mendapat keadilan? Sedikitnya ada empat penyebab bobroknya hukum di Indonesia:

1. Kedaulatan hukum diserahkan pada manusia.

Sistem hukum di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sistem demokrasi yang dianutnya, yang menempatkan manusia berada dalam posisi yang setara dengan Tuhan. Dalam sistem ini, manusia memiliki hak untuk membuat hukum dan menentukan halal-haram. Suara mayoritas diagung-agungkan, tak peduli apakah suara mayoritas itu bertentangan dengan hukum Allah ataukah tidak.

Terkait dengan sumber pokok hukum Perdata (burgerlijk Wetboek), Indonesia masih mengadopsi hukum buatan manusia (penjajah) yang berasal dari hukum perdata Prancis, yaitu Code Napoleon, yang diadopsi oleh Belanda. Hukum tersebut berlaku di Indonesia sejak 1 Mei 1848 bersamaan dengan penjajahan Belanda. Kitab Undang-Undang Pidana (Wetboek van Strafrecht)-nya pun diadopsi dari KUHP untuk golongan Eropa yang merupakan kopian dari Code Penal, yaitu Hukum Pidana di Prancis zaman Napoleon.

Akibat diadopsinya hukum buatan manusia, batasan kejahatan menjadi kacau bahkan memicu kejahatan lain. Sebagai contoh, dalam KUHP Pasal 284, perzinaan (persetubuhan di luar nikah) akan dikenakan sanksi bila dilakukan oleh pria dan wanita yang telah menikah. Itu pun jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Artinya, jika perzinaan itu dilakukan oleh bujang-lajang, suka sama suka, maka pelaku tidak dikenakan sanksi. Akibatnya, free seks menjadi legal, hamil di luar nikah menjadi biasa, bahkan aborsi sekalipun. Contoh lain, ketika batasan kepornoan samar, bahkan kepornoan yang jelas pun dikecualikan (seperti dalam pentas-pentas seni), hal itu akan berdampak pada pelecehan terhadap perempuan, mulai dari pelecehan ringan hingga pemerkosaan.

Di sisi lain, hukum buatan manusia terbukti tidak memberi efek jera. Tengok saja perzinaan yang diatur dalam pasal 284 KUHP, pelakunya hanya dikenai 9 bulan penjara; pembunuhan hanya dikenai 15 tahun penjara (Pasal 338 KUHP); pencurian hanya dikenai 5 tahun penjara (pasal 362 KUHP). Sanksi yang ringan ini alih-alih memberi efek jera dan menekan tingkat kriminalitas, yang terjadi kriminalitas semakin meningkat.

2. Sekularisasi.

Sekularisme yang menjadi asas negeri ini telah menempatkan agama hanya berada di masjid-masjid, gereja, pura dsb. Agama hanya berlaku di wilayah privat, sementara di luar itu (seperti di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, termasuk hukum dan persanksian), agama dicampakkan. Ketika berada di wilayah publik, ketakwaan pun lenyap. Wajar jika sering kita menjumpai aparat penegak hukum mulai dari polisi, panitera, jaksa hingga hakim memiliki mental yang bobrok.

3. Asas manfaat.

Asas manfaat jasadiah mendorong sikap materialistik; menjadikan segala sesuatu diukur oleh harta dan kekuasaan. Akhirnya, hawa nafsu dijadikan standar untuk menilai segala sesuatu. Hukum menjadi samar ketika hawa nafsu mendominasi para wakil rakyat. Demi materi dan kekuasaan nasib rakyat pun tergadaikan. Tengok saja produk hukum kita mulai dari UU Ketenagalistrikan, UU Energi, UU SDA, UU Migas dll yang lebih berpihak kepada yang ’berduit’, sementara rakyat semakin pailit (baca: miskin). Demi materi pula, kerap kita menjumpai aparat hukum yang tidak malu-malu menerima suap demi membebaskan terdakwa dari jeratan hukum. Sebaliknya, ketika berhadapan dengan rakyat miskin, hukum dengan mudah ’dijerat’. Keadilan pun semakin jauh dari harapan!

4. Hukum yang bersifat relatif.

Diserahkannya pembuatan hukum kepada manusia telah menjadikan hukum bersifat relatif. Hukum dengan mudah berubah sesuai dengan kepentingan pihak-pihak yang memiliki akses dan kekuatan untuk mempengaruhi proses pembuatan hukum. Produk hukum pun akan lebih banyak mengadopsi kepentingan mereka. Akhirnya, rakyat dirugikan.

Keistimewaan Hukum Islam

Hukum Islam memiliki keistimewaan yang patut dibanggakan, di antaranya adalah:

1. Kedaulatan di tangan Asy-Syâri’.

Dalam Islam, yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT (Lihat: QS 12: 40). Manusia yang lemah dan memiliki keterbatasan tidak diberi hak membuat hukum. Dengan itu, hukum Islam jauh dari subyektivitas manusia. Baik-buruk, terpuji-tercela, halal-haram tidak bisa dikangkangi oleh kepentingan manusia. Dengan demikian, hukum Islam berada di atas semua pihak, semua manusia.

2. Standar hukumnya kokoh.

Standar hukum Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah. Hal ini meniscayakan hukum Islam bersifat tetap, konsisten dan tidak berubah-ubah. Sebab, al-Quran dan as-Sunnah adalah tetap, tidak akan berubah hingga Hari Kiamat. Definisi kejahatan dan jenis sanksi pun jelas hingga tidak akan memunculkan permasalahan baru. Kejahatan didefinisikan sebagai pelanggaran terhadap seluruh aturan Allah SWT. Artinya, siapa saja yang meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman, maka ia telah melakukan kejahatan (jarîmah) yang berhak atasnya sanksi. Zina, misalnya, diharamkan Allah SWT (lihat: QS 17: 32) dan pelakunya harus dikenai sanksi. Pezina mukhshan (sudah menikah) sanksinya adalah rajam (hadis dari Jabir bin Abdillah), sedangkan pezina ghayru mukhshan (belum menikah), sanksinya adalah dicambuk dengan 100 kali cambukan (lihat QS 24: 2). Masing-masing pelaku dikategorikan zina manakala ia melakukan hubungan seks dengan pasangan di luar ikatan yang sah. Mereka akan diberi sanksi jika bukti-bukti telah cukup (seperti dengan adanya persaksian dari empat orang saksi atau adanya pengakuan dari pelakunya sendiri seperti yang terjadi pada al-Ghamidiyah saat ia meminta dijatuhi sanksi atas perzinaan yang ia lakukan). Dari sini dapat dilihat, bahwa dengan definisi zina yang jelas, kejahatan akan segera tertangani, dan tidak akan memunculkan kejahatan baru (seperti aborsi).

3. Memuliakan manusia.

Hukum Islam diturunkan Allah untuk kebaikan manusia dan menyelesaikan persoalan manusia. Allah SWT telah menegaskan bahwa risalah Islam diperuntukkan bagi seluruh manusia dan agar menjadi rahmat (kebaikan) bagi mereka, baik Muslim ataupun non-Muslim (lihat QS 21: 107). Hal ini dibuktikan dalam sejarah panjang kaum Muslim, bahwa dalam pemerintahan Islam selama 800 tahun di Spanyol, pemeluk Islam, Kristen dan Yahudi mampu hidup berdampingan. Mereka mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara tanpa diskriminasi.

4. Berpihak kepada semua.

Hal ini dikaitkan dengan karakter hukum Islam yang berfungi sebagai zawâjir (pencegah) dan jawâbir (penebus dosa). Hukum Islam akan membuat jera pelaku kejahatan dan mencegah masyarakat untuk melakukan tindakan kriminal. Tentu hal ini akan memberi rasa aman kepada masyarakat. Allah SWT berfirman:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 179).

Hukum Islam juga berfungsi sebagai penebus dosa karena sanksi yang dijatuhkan di dunia dapat menebus azab di akhirat. Ubadah bin Shamit ra. berkata:

كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي مَجْلِسٍ فَقَالَ بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوا بِاللهِ شَيْئًا وَلاَ تَسْرِقُوا وَلاَ تَزْنُوا وَقَرَأَ هَذِهِ اْلآيَةَ كُلَّهَا فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَتُهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ

Kami pernah bersama Rasulullah saw dalam suatu majelis dan beliau bersabda, “Kalian telah membaiatku untuk tidak menyekutukan Allah dengan apa pun, tidak mencuri dan tidak berzina.” Kemudian beliau membaca keseluruhan ayat, “Siapa di antara kalian memenuhinya maka pahalanya di sisi Allah. Siapa saja yang mendapatkan dari hal itu sesuatu, kemudian diberi sanksi, maka sanksinya menjadi penebus dosa baginya. Siapa saja yang mendapatkan dari hal itu sesuatu, maka Allah menutupinya jika Dia berkehendak, Dia mengampuninya atau mengazabnya (HR al-Bukhari).

Hadis ini menjelaskan bahwa sanksi dunia, yakni sanksi yang dijatuhkan negara bagi pelaku kejahatan, akan menggugurkan sanksi di akhirat. Oleh karena itu, pada masa Rasulullah saw,, pelaku zina seperti Maiz dan al-Ghamidiyah tidak segan-segan datang kepada Rasulullah untuk mengakui perzinaannya dan meminta negara agar menjatuhkan sanksi atas pelanggaran mereka di dunia, agar sanksi di akhirat atas mereka gugur.

Dari sini tampak, bahwa hukum Islam tidak hanya berpihak kepada masyarakat secara umum (dengan adanya fungsi pencegah), tetapi sekaligus berpihak kepada pelaku jika ia menerima sanksi di dunia. Subhânallâh!

5. Tidak diskriminatif.

Hukum Islam berlaku bagi pejabat atau rakyat, bagi Muslim atau non-Muslim. Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda:

إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يُقِيمُونَ الْحَدَّ عَلَى الْوَضِيعِ وَيَتْرُكُونَ الشَّرِيفَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ فَعَلَتْ ذَلِكَ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah karena mereka menegakkan hukuman atas orang-orang lemah, tetapi membiarkan orang-orang kuat. Demi Allah, jika Fatimah mencuri, pasti aku memotong tangannya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Pada masa Khulafaur Rasyidin, Khalifah Umar pernah menyita unta putranya, Abdullah bin Umar, yang digembalakan bersama unta zakat di padang gembalaan terbaik. Khalifah Umar pun pernah menghukum putra Amr bin Ash, Gubernur Mesir, karena memukul rakyat biasa. Sejarah juga telah menunjukkan kepada kita, bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. pernah mendakwa seorang Yahudi dengan tuduhan pencurian (atas baju besi). Namun, karena bukti-bukti yang disodorkan Khalifah Ali ra. tidak mencukupi (meyakinkan), maka Qadhi memutuskan untuk membebaskan orang Yahudi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa meski seorang kepala negara (Khalifah) mendakwa salah seorang rakyatnya dengan tindak kejahatan, maka tetap melalui prosedur persidangan. Jika tidak terbukti, ia dibebaskan. Ini menunjukkan, seluruh warga negara memiliki kedudukan sama di muka hukum.

6. Mekanisme kontrol yang kokoh.

Mayoritas permainan hukum terjadi melalui praktik suap-menyuap, hadiah, kolusi dan nepotisme. Dalam hukum Islam, peluang terjadinya hal tersebut sangat kecil. Mengapa? Pertama: karena ditopang oleh ketakwaan individu warga negara yang kuat. Dominannya motivasi ruhiah, mendorong al-Ghamidiyah yang terlanjur berzina datang kepada Rasulullah saw. dan meminta beliau untuk mensucikan dirinya dari perbuatan dosa. Motivasi yang sama telah mendorong Qadhi Syuraih untuk tidak gegabah dalam memutuskan sengketa Khalifah Ali dengan orang Yahudi, hingga saat bukti tidak ia dapatkan dari Khalifah, putusan akhirnya dimenangkan oleh Yahudi. Demikian juga dengan Abdullah bin Rawahah yang dengan tegas menolak sogokan Yahudi Khaibar agar ia tidak menunaikan tugasnya (menarik setengah bagian hasil pertanian mereka).

Kedua: kewajiban amar makruf nahi mungkar telah mendorong adanya kontrol sosial dari partai politik dan masyarakat secara umum. Kontrol yang kuat inilah yang akan mempersempit ruang bagi tindak kejahatan, baik yang dilakukan masyarakat umum, pejabat ataupun aparat hukum.

Ketiga: adanya peran Mahkamah Mazhalim dalam melakukan pengawasan secara sitemik terhadap para aparat untuk tidak berbuat curang dan melakukan permainan hukum.

Khatimah
Telah nyata kebobrokan sistem hukum yang diterapkan saat ini. Telah nyata pula keistimewaan hukum Islam yang mampu mengantarkan masyarakat—Muslim dan non Muslim—selama belasan abad, hidup dalam jaminan keamanan dan keadilan. Lalu masihkah kita berharap pada sistem yang berlaku saat ini? Wallâhu a’lam. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar