Suatu ketika Abu Bakar ash-Shiddiq ra. melihat seekor burung
yang hinggap di sebuah pohon. Spontan beliau berkata, “Wahai burung, betapa
nikmatnya kamu. Kamu makan dan minum, sementara kamu tidak dihisab. Andai saja
aku menjadi burung seperti kamu.” (Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman,II/345;
as-Suyuthi, Tarikhal-Khulafa’, I/41; Kanz al-‘Umal, XII/528).
Abu Bakar ash-Shiddiq ra. adalah salah seorang Sahabat Nabi
saw. yang dijamin masuk surga. Namun, beliau tetap merasa khawatir akan hisab
Allah SWT pada Hari Akhir nanti. Begitu khawatirnya, beliau berandai-andai
ditakdirkan menjadi seekor burung agar tidak dihisab oleh AllahSWT. Namun,
justru karena kekhawatiran akan hisab Allah SWT itu pula, beliau berusaha
menjadi pribadi yang selalu bertakwa.
Berupaya selalu bertakwa tentu adalah pilihan amat cerdas.
Sebaliknya, banyak melakukan dosa dan maksiat adalah pilihan sangat bodoh. Itu
pula yang dinyatakan oleh Sayidina Abu Bakar ash-Shiddiq ra., “Inna akyas
al-kays at-taqwa wa ahmaqal-humqi al-fujur (Sungguh, kecerdasan yang
palingcerdas adalah takwa, dan kebodohan yang paling bodoh adalah
maksiat).”(Al-Baihaqi, As-Sunanal-Kubra, VI/353).
Mengapa demikian? Sebab, takwa akan meringankan
pelakunya dari hisab Allah SWT sekaligus memasukkan dirinya ke dalam
surga-Nya.Sebaliknya, dosa dan maksiat akan menyulitkan pelakunya dari hisab
Allah SWTsekaligus memasukkan dirinya ke
dalamazab neraka.
Alhasil, orang cerdas bukanlah orang yang ber-IQ tinggi, atau
mempunyai catatan prestasi akademik di bangku kuliah dengan nilai IPK
yang mumpuni, atau memiliki gelar akademik S-2 atau S-3 dari perguruan
tinggi bergengsi di dalam atau luar negeri. Orang cerdas adalah orang yang
selalu bertakwa kepada Allah SWT; orang yang hidupnya selalu diisi dengan
ketaatan kepada Allah SWT, bukan dengan ragam dosa dan kemaksiatan.
Terkait itu, Baginda Nabi saw. pernah bersabda, “Al-Kays man
dana nafsahu wa ‘amilali ma ba’da al-mawt, wa al-‘ajiz man atba’a nafsahu
hawahu wa tamanna ‘alalLah (Orang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan
hawa nafsunya dan beramal untuk bekal setelah mati. Orang lemah [bodoh] adalah
orang yang memperturutkan hawa nafsunya, lalu berangan-angan kepada Allah).” (HR
at-Tirmidzi, Ahmad, IbnMajah, al-Baihaqi, al-Hakim dan ath-Thabrani).
Karena itu, meski bergelar doktor sekaligus menduduki jabatan
elit dengan gaji di atas 100 juta rupiah, betapa bodohnya jika orang seperti ini
masih saja korupsi. Tentu karena ia telah memperturutkan hawa nafsunya. Hawa
nafsu tidak lain adalah segala keinginan atau kecenderungan—dalam wujud ucapan
maupun tindakan—yang bertentangan dengan wahyu. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT (yang artinya): Apa yang diucapkan oleh Muhammad itu tidaklah
bersumber dari hawa nafsunya, melainkan berasal dari wahyu yang Allah wahyukan
kepada dirinya (TQS an-Najm [53]: 5).
Ayat ini memang berbicara tentang sifat Rasulullah saw.,yang
segala ucapan dan tindakannya pasti bersumber dari wahyu, bukan dari hawa nafsu
(Abu Bakar al-Jazairi, Aysarat-Tafasir, III/526).
Namun, dari ayat ini bisa dipahami, bahwa hawa
nafsu berlawanan dengan wahyu. Alhasil, segala hal, baik ucapan atau
tindakan,yang bertentangan dengan wahyu
Allah SWT pasti bersumber dari hawa nafsu. Kata-kata jorok dan kasar, sumpah
palsu, ghibah, fitnah (tuduhan keji), berbohong dll pasti bersumber dari hawa
nafsu. Korupsi,suap, memakan riba, merampok, membunuh, mengobral aurat,
berzina, menzalimi rakyat, dll pasti bersumber dari hawa nafsu. Sebab, semua
ucapan dan tindakan tersebut berlawanan dengan wahyu. Begitu pun segala
kebijakan, hukum atau undang-undang yang berlawanan dengan wahyu; semua itu
pasti bersumber dari hawa nafsu. Karena itu siapa saja yang ucapannya dan
tindakannya—termasuk kebijakan, hukum maupun undang-undangnya—bertentangan
dengan wahyu Allah SWT maka mereka adalah orang-orang yang telah memperturutkan
hawa nafsu. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang bodoh meski mereka
menyandang gelar akademik tinggi dan menduduki jabatan bergengsi.
Abu Bakar ash-Shiddiq ra. melanjutkan pernyataannya, “Wa
inna ashdaq ash-shidqi al-amanahwa akdzab al-kadzibi al-khiyanat
(Sungguh,kejujuran yang paling jujur adalah sikap amanah, dan kedustaan yang
paling dusta adalah sikap khianat).” (Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, VI/353).
Banyak orang yang tidak suka berbohong alias biasa
jujur dalam ucapan, tetapi kadang tak bisa bersikap amanah dalam tindakan.
Padahalsikap amanah adalah tanda nyata dari kejujuran seseorang.
Amanah itu banyak. Menjadi Muslim adalah amanah. Menjadi anak
atau orangtua adalah amanah. Menjadi suami atau istri adalah amanah.Menjadi
guru, dosen, pegawai, buruh, direktur perusahaan, dll adalah amanah.
Menjadi pengemban dakwah juga amanah.
Sebagai amanah, semua itu tentu wajib dijalankan
sesuai dengan yang dituntut oleh syariah. Melalaikan semua amanah yang memang
secara syar’i wajib dijalankan terkategori khianat. Khianat, kata Abu Bakar
ash-Shiddiq ra.,adalah kedustaan yang paling dusta.
Khianat itu banyak ragamnya, sebanyak sikap
mengabaikan amanah. Dalam konteks dakwah, jika seorang pengemban dakwah sering
melalaikan aktivitas dakwah—jarang kontak dakwah, enggan menerima taklif-taklif
dakwah,dsb—maka ia berarti tidak amanah dalam dakwah. Dengan kata lain ia
telah mengkhianati dakwah. Alhasil, meski julukannya ‘pengemban dakwah’,
ia hakikatnya adalah ‘pengkhianat dakwah’. Saat ia telah menjadi
‘pengkhianat dakwah’ sesungguhnya ia telah benar-benar melakukan—meminjam
Sayidina Abu Bakarash-Shiddiq ra.—kedustaan yang paling dusta atas klaimnya
sebagai pengemban dakwah.
Tentu kita berlindung kepada Allah SWT dari yang demikian.
Sebaliknya, kita berharap menjadi pengemban dakwah yang paling jujur dalam
berdakwah, yakni yang selalu bersikap amanah dalam dakwah; tidak pernah lalai
dalam menjalankan aktivitas dakwah dengan terus melakukan kontak-kontak dakwah,
menjalankan taklif-taklif dakwah, dsb.
Alhasil, dengan takwa dan sikap amanah itulah sejatinya kita
menjadi orang yang cerdas sekaligus jujur, sebagaimana dinyatakan oleh AbuBakar
ash-Shiddiq ra. di atas.
Wa ma tawfiqi illabilLah. [Arief B. Iskandar]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar